Mohon tunggu...
Joko Hendarto
Joko Hendarto Mohon Tunggu... Dokter -

Orang Indonesia yang belajar lagi ke negeri orang...

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Hari Gini Masih Percaya Vaksin?

10 Juli 2015   07:23 Diperbarui: 10 Juli 2015   09:23 1841
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Terkait tulisan saya tentang vaksin yang dianggap sedikit menyinggung hubungan islam dan sains, beberapa saat yang lalu, saya menerima kiriman paper dari seorang kawan yang baik hati, terbitan Elsevier di  “International Journal of Cardiology”. Topiknya tentang penjelasan Al-Qur’an dan hadist mengenai sistem kardiovaskuler (Judulnya: Islamic legacy of cardiology: Inspirations from the holy sources dan The heart and cardiovascular system in the Qur'an and Hadeeth). Ditulis oleh beberapa dokter yang berasal dari Amerika dan Inggris. Walau bukan tentang vaksin, dua paper ini cukup menarik karena itu bisa jadi contoh  bahwa islam sungguh sesuai dengan sains, bahkan ikut berjasa mendorong perkembangan sains modern seperti yang kita kenal saat ini. Paper diatas kemudian menjadi perbincangan serius. Jurnal yang menerbitkannya pun dikritik oleh beberapa saintis karena dianggap memaksakan penggabungan tafsir agama atas sains, dan untuk beberapa hal saya sepakat dengan kritik itu, sains tidak serta merta bisa dicocok-cocokkan secara tekstual dengan ayat-ayat kitab suci.

Islam dan sains saling berkaitan, tentu saja. Itu tak lagi perlu diperdebatkan. Seperti yang kita pahami bersama, banyak ayat dalam Al-Qur’an yang menginspirasi, menyuruh kita untuk tidak pernah berhenti berpikir, mengamati dan belajar dari fenomena yang terjadi di langit dan di bumi. Tapi pertanyaan penting yang kadang muncul adalah bagaimana sih relasi ideal keduanya. Realitas di luar sana kadang tidak semanis yang kita kira. Setiap muslim pasti akan bersikeras bahwa agama ini sangat sesuai dengan ilmu pengetahuan, tapi tetap saja ada beberapa tafsiran islam dari beberapa orang atau kelompok  yang menurut saya agak kurang menerima atau tidak bersahabat dengan ilmu pengetahuan. Contohnya mereka yang terus terlibat dalam kampanye anti vaksin, baik itu media sosial, lewat buku atau simposium yang beberapa kali saya pernah temui.

Saya sangat suka menggunakan contoh vaksinasi untuk menunjukkan relasi tak ideal dari beberapa tafsir agama dengan sains ini. Sebagai pengingat, saya ingin kembali sedikit mengulas soal vaksinasi ini. Jika kita membaca buku-buku imunologi dan hasil penelitian di bidang ini tentu saja vaksin bisa dikatakan salah satu “keajaiban” yang membuat kita bisa mengatasi serangan begitu banyak mikroorganisme penyebab penyakit diluar sana, setiap harinya. Mengapa vaksinasi penting? Sederhananya, vaksin akan menjadi semacam “trainer” dan juga “sparring partner” yang akan mengajak sistem imun kita berkembang dan belajar. Sehingga saat kita berjumpa dengan musuh yang sebenarnya, kita bisa mengalahkan mereka atau pun jika kita tak bisa menaklukkan mereka, setidaknya kita tidak perlu sangat babak belur karena terinfeksi oleh mereka. Dan vaksin adalah produk panjang pengetahuan dan penelitian yang lahir dari ikhtiar tak henti orang-orang yang dengan tekun menggunakan akalnya untuk berpikir.

Tapi kan bukan cuma vaksinasi yang membuat orang tidak sakit dan tetap sehat? Itu benar, ada banyak faktor yang secara epidemiologi mempengaruhi apakah ujungnya orang bisa sakit atau tidak. Dalam konteks vaksinasi, tentu saja kita bicara soal penyakit menular. Sayangnya, di Indonesia faktor yang terkait dengan kita sebut saja gizi, kemudian akses yang memadai terhadap fasilitas yang terkait dengan hygiene dan sanitasi misalnya air bersih, jamban dan rumah yang sehat, kadang masih susah dipenuhi seluruh warga.

Masih sangat mudah menemukan masyarakat kita yang tinggal di tempat tidak layak, berdesak-desakan tanpa punya seluruh fasilitas minimal yang bisa membuat mereka sehat. Belum lagi banyak yang tingkat pendidikan dan ekonominya sangat rendah, jadi bayangkan kalau ada satu yang menderita penyakit yang sangat menular di komunitas itu. Bisa saja kan mereka ada diseberang kompleks perumahan kita yang bagus, dipinggir sungai kota kita. Ada yang menjamin bahwa kita tidak akan berinteraksi dengan mereka suatu ketika?

Selain itu, ada kebiasaan buruk kita menggunakan antibiotik secara sembarangan. Mengeluh demam, baru minum antibiotik sebiji, demamnya berhenti, antibiotiknya berhenti. Padahal dokter sudah bilang minum antibiotiknya minimal 5 hari, ada juga yang 3 hari terus disuruh kontrol ulang. Belum lagi makai antibiotik seperti makan cemilan saja, semua penyakit dihajar dengan antibiotik yang memang mudah diperoleh, semudah membeli permen. Bahkan di salah satu tempat, orang bisa membeli antibiotik di toko material. Gila kan. Alhasil apa yang terjadi, resistensi kuman penyebab penyakit meningkat dan menjadi sangat menakutkan. Nah bayangkan jika anak-anak kita berjalan-jalan di luar sana, berjumpa, salaman atau bicara dengan orang yang membawa kuman super seperti itu dan dia tanpa imunisasi. (Ada laporan menarik tentang ini di The Jakarta Post, linknya disini:http://www.thejakartapost.com/news/2007/08/20/indonesia-must-be-smarter-handing-out-antibiotics.html)

Untuk contoh ini saya pernah punya kawan yang pernah dipusingkan oleh anaknya yang kurus, berat badannya tak mau naik, nafsu makannya seolah tidak ada. Dan saat dibawa ke dokter anak, setelah selesai segala pemeriksaan, anak itu diagnosis TB dan harus mendapatkan pengobatan TB yang cukup lama. Loh kok bisa? Teorinya, anak terinfeksi TB karena ada orang dewasa disekitarnya yang menderita penyakit ini dan menularkan ke mereka. Padahal rumah saya bersih loh. Kami selalu makan makanan bergizi. Olahraga. Tak ada yang merokok di rumah. Tak ada yang batuk lama juga. Lalu infeksinya darimana datangnya? Bagaimana kalau si anak keluar rumah. Berinteraksi dengan banyak orang yang mungkin tanpa kita ketahui membawa kuman penyakit itu.

Kembali ke soal beberapa kelompok yang menggunakan tafsir agama untuk terus saja mengkampanyekan anti vaksin diatas tentu saja ini suatu hal yang merisaukan. Argumennya kadang menjadi tidak ilmiah karena tentu saja seluruh keraguan mereka terhadap vaksin telah dijawab oleh hasil penelitian yang begitu banyak jumlahnya. Pertanyaan mereka juga soal hukum vaksin telah dijawab oleh MUI yang membolehkan vaksinasi. Tapi tetap saja yang mengemuka bahwa ada teori konspirasi, vaksin tetap tidak boleh karena itu upaya barat melemahkan generasi muslim, lengkap dengan kutipan ayat yang menurut mereka bisa menguatkan bahwa vaksinasi itu tidak boleh. Padahal kan di Indonesia vaksin yang kita gunakan kebanyakan bukan buatan barat, tapi buatan Biofarma di Bandung sana, produksi anak-anak bangsa sendiri.

Dan bagian yang paling menyedihkan adalah banyak dari orang yang saya kenal dan menolak vaksinasi justeru pernah atau sedang belajar tentang imunologi, mikrobiologi, virologi, ada yang mungkin sempat belajar ilmu kesehatan anak, penyakit dalam atau “public health” tapi kok bisa ya menampik semua pengetahuan itu dan mulai mengajak orang-orang untuk tidak memvaksin anaknya. Mudah-mudahan itu tidak menjadi “dosa jariyah” ya nantinya. 

Herd Immunity

Saya pernah mengatakan pada seorang kawan, sebetulnya bisa saja kita tidak usah pusing terhadap beberapa orang yang tidak ingin memvaksin anaknya itu. Itu urusan mereka untuk tidak menerima ilmu pengetahuan. Tapi dari perspektif “public health”, itu menjadi sangat berbahaya. Pernah dengar konsep “herd immunity”. Nah kita mulai penjelasan ini bahwa tujuan vaksinasi selain memberikan kekebalan pada individu, juga diharapkan dapat memberikan kekebalan kelompok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun