Mohon tunggu...
joko badeg
joko badeg Mohon Tunggu... -

script writer

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sarasehan Konflik Agraria di Yogyakarta

1 Juli 2013   00:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:11 1224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Mengurai Benang Kusut Sengketa lahan Masyarakat di Yogyakarta”: Upaya mencari Solusi Masalah Pertanahan di DIY

Permasalahan tanah dan sengketa lahan, sering menjadi ajang konflik di masyarakat DIY, padahal masalah tanah/lahan adalah merupakan amanat reformasi di bidang agraria, bahkan UU 13/2012 tentang Keistimewaan DIY menjadikan masyarakat bertanya bagaimana nasib mereka yang menggunakan tanah dengan status SG yang dipakai untuk usaha ekonomi produktif dengan HGU, tanah-tanah yang digunakan untuk tempat tinggal dengan sistem margersari. Sejak diterbitkannya UU Keistimewaan, konflik menyangkut tanah magersari muncul di sekitar keraton, seperti yang terjadi di wilayah Suryowijayan. “Konflik terkait tanah ini perlu didialogkan untuk mendapatkan solusi terbaik bagi masyarakat Yogyakarta. UU Keistimewaan terkait dengan tanah seharusnya memberikan jaminan dan kepastian bagi masyarakat, khususnya yang menempati tanah-tanah SG,perlakuan yang adil”, Tegas Pedro Indharto, aktifis OI.

Turut mengurai masalah lahan masyarakat di Yogyakarta, Perkumpulan Our Indonesia (OI) yang bekerja untuk mengembangkan perdamaian melalui pendidikan, penelitian dan advokasi masyarakatakan menyelenggarakan Sarasehan tentang persoalan konflik Agraria, sebagai salah satu masalah yang perlu dicari solusi yang damai dan adil sebagai bagian dari Keistimewaan Yogyakarta.Kegiatan ini akan diselenggarakan pada Sabtu, 29 Juni 2013 di Gedung Dekranas (Dewan Kerajinan Nasional)jl. Taman Siswa no. 39 Yogyakarta, pkl 09.00 – 12.00melibatkan para praktisi hukum, pemerhati agrarian, masyarakat korban dan mahasiswa.

“Jangan sampai kasus-kasus sengketa lahan ini memicu konflik yang lebih besar dan merugikan semua pihak. Kita menyayangkan kasus sengketa lahan SMA 17 yang masih dalam proses pengadilan perkaranya, tetapi sudah terjadi perusakan terhadap bangunan yang menyebabkan terganggunya fungsi sosial dan jalannya pendidikan. Beberapa kasus lain yang mirip seperti sengketa pengelolaan Gua Pindul di Gunung Kidul”, tutur Pedro lebih lanjut.

Konflik juga terjadi pada penggunaan tanah-tanah untuk kepentingan umum, penataan kawasan Parangtritis, penyediaan lahan untuk Bandara dan Pelabuhan Internasional di Kulonprogo, serta berbagai kasus pertanah lain yang saat ini banyak menghiasi media terkait konflik di Masyarakat.

Persoalan tanah di Yogyakarta cukup unik karena status tanah DIY terbagi dalam beberapa kategori:Sultan Ground (SG) dimiliki oleh Hamengku Buwono, maupun Pakualaman, Tanah Hak Milik (HM) tanah yang sudah menjadi milik masyarakat sebagai harta yang diwariskan, diupayakan atau hibah,tanah magersari tanah yang dipinjamkan untuk dipakai baik untuk hunian maupun usaha dengan bukti kekancingan atau HGU, tanah terlantar (tanah yang dibiarkan tidak terurus oleh pemiliknya).

Dualisme sistem kepemilikan tanah di DIY yang rentan dengan konflik sosial. Tanah-tanah yang statusnya abu-abu ini seringkali menjadi sumber konflik masyarakat. Berkembangnya Kota Yogyakarta sebagai destinasi wisata membuat para investor mengembangkan usaha-usaha perhotelan, restoran, dan berbagai ruang untuk dikemas sebagai area wisata menjadikan tanah sebagai komoditas dengan nilai yang tinggi. Konflik muncul karena ekspansi usaha yang cenderung mengabaikan fungsi sosial tanah sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Agraria, bahwa tanah harus dikelola sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat.

Persoalan tanah semakin mencuat dengan disyahkannya UU Keistimewaan Yogyakarta.Meski Sultan menyatakan bahwa perkara tanah ini menjadi kewenangan BPN, akan tetapi dalam beberapa kasus, alih fungsi lahan, mulai terjadi di daerah Istimewa Yogyakarta yang menimbulkan konflik.Kegiatan Sarasehan ini merupakan langkah awal upaya membuka dialog kritis sebagai upaya mencari solusi masalah pertanahan di DIY yang semakin hangat dengan damai dan sesuai dengan aturan yang berlaku dan berkeadilan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun