Mohon tunggu...
Joko Ade Nursiyono
Joko Ade Nursiyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 34 Buku

Tetap Kosongkan Isi Gelas

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Di Balik Capaian Indonesia sebagai Upper Middle-Income Country

6 Juli 2023   12:19 Diperbarui: 6 Juli 2023   17:04 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari lalu, secara kebetulan saya membaca sebuah artikel yang menyita penglihatan. Artikel tersebut meng-highlight peresmian Indonesia telah berstatus sebagai negara berpendapatan menengah atas (Upper Middle-Income Country) oleh Bank Dunia.

Dengan berdasar data Gross National Income (GNI), Bank Dunia melihat Indonesia berhasil meningkatkan GNI-nya sebesar 9,8 persen, dari yang semula 4.170 USD menjadi 4.580 USD. Capaian ini menunjukkan kemajuan ekonomi yang signifikan bagi Indonesia sekaligus membuat saya tercengang.

Kendati demikian, di balik capaian tersebut, saya perlu mengingatkan Indonesia bahwa tantangan besar masih menghingagpi negara ini, salah satunya adalah tingginya tingkat pengangguran struktural.

Pengangguran struktural merupakan jenis pengangguran yang terjadi sebagai efek ketidaksinkronan antara keahlian tenaga kerja yang tersedia dengan permintaan pasar tenaga kerja.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, bulan Februari 2023, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Indonesia mencapai 5,45 persen. Dalam angka absolut, ada sekitar 7,99 juta orang menganggur. Meskipun terjadi penurunan bila dibanding Februari 2022 yang sebesar 5,84 persen, TPT Februari 2023 tampak masih cukup tinggi sekaligus menunjukkan permasalahan serius di balik capaian GNI.

Selain itu, penurunan TPT juga terlihat bertentangan dengan tingkat kesempatan kerja yang ada. Pada bulan Februari 2023, tingkat kesempatan kerja mencapai 94,55 persen, angka ini tercatata meningkat bila dibandingkan Februari 2022 yang sebesar 94,17 persen.

Hal ini dapat dimaknai meski ada kesempatan kerja yang tersedia, masih banyak pencari kerja dengan keterampilan yang tidak sesuai permintaan pasar tenaga kerja.

Penyebab pengangguran struktural

Pengangguran struktural di Indonesia sendiri disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, perubahan teknologi memainkan peran penting dalam menciptakan ketidaksesuaian antara keterampilan tenaga kerja dan kebutuhan pasar kerja.

Kemajuan teknologi bisa mengubah tuntutan pasar kerja serta membuat beberapa jenis pekerjaan menjadi usang alias tidak relevan. Pekerjaan yang membutuhkan keterampilan tradisional atau manual mungkin digantikan oleh otomatisasi atau proses produksi yang lebih efisien.

Sebagai contoh sederhana adalah kehadiran Artificial Intelligence (AI) yang telah diimplementasikan pada beragam sektor di Indonesia dan adanya kombinasi AI terintegrasi dengan internet (Internet of Things/IoT).

Kedua, perubahan struktur ekonomi juga menjadi penyebabkan pengangguran struktural. Perekonomian yang berkembang atau berubah dapat menghasilkan pergeseran dalam jenis pekerjaan yang dibutuhkan.

Misalnya, permintaan tenaga kerja sektor manufaktur yang menurun dan bergeser ke sektor jasa (informal) atau biasa diistilahkan deindustrialisasi.

Ketiga, ketidakcocokan keterampilan juga merupakan faktor penyebab pengangguran struktural (tindak link and match). Para pencari kerja mungkin tidak memiliki keterampilan yang sesuai dengan permintaan pasar kerja.

Hal ini dapat terjadi karena perubahan kebutuhan industri yang berorientasi padat modal (bukan padat karya), kurangnya pelatihan atau pendidikan yang relevan, atau kurangnya akses informasi mengenai peluang kerja.

Setidaknya 3 solusi

Peningkatan GNI yang belum berkualitas karena menyimpan permasalahan mengenai pengangguran struktural merupakan hal serius. Untuk meminimalisir efek negatif pengangguran struktural di tengah peningkatan GNI, setidaknya ada 3 solusi yang dapat diterapkan.

Pertama, penting bagi Indonesia untuk terus meningkatkan akses dan kualitas pendidikan vokasional atau kejuruan.

Sekolah-sekolah vokasional harus ditingkatkan dengan pembekalan keterampilan praktis sesuai dengan kebutuhan pasar kerja. Selain itu, program-program pelatihan keterampilan juga perlu diperluas serta disempurnakan agar mampu mencakup berbagai sektor industri yang sedang berkembang.

Kedua, perlu adanya sinergi antara lembaga pendidikan, industri, dan pemerintah.

Kolaborasi yang erat dari ketiga pihak ini pastinya akan membantu pengidentifikasian kebutuhan pasar kerja, dengan mengembangkan kurikulum yang relevan, dan menyelenggarakan program magang atau kerja sama dengan perusahaan.

Dengan melibatkan industri dalam proses pendidikan dan pelatihan, para pencari kerja diharapkan memiliki kesempatan memperoleh keterampilan yang sesuai dengan permintaan pasar.

Ketiga, perlunya upaya untuk meningkatkan akses informasi tentang peluang kerja. Pemerintah dapat mengembangkan portal atau platform online yang menyediakan beragam informasi mengenai lowongan kerja, persyaratan keterampilan, dan peluang pengembangan karir.

Selain itu, pelatihan dan program orientasi karir dapat diselenggarakan untuk membantu para pencari kerja dalam memahami tuntutan pasar kerja dan mengarahkan mereka ke sektor-sektor yang sedang berkembang.

Dengan mengambil langkah-langkah ini, diharapkan pengangguran struktural berkurang secara bertahap. Para pencari kerja akan lebih siap menghadapi tuntutan pasar kerja dengan memiliki keterampilan yang sesuai dan informasi yang memadai.

Selain itu, kolaborasi antara lembaga pendidikan, industri, dan pemerintah akan menciptakan ekosistem yang mendukung pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun