Mohon tunggu...
Joko Ade Nursiyono
Joko Ade Nursiyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 34 Buku

Tetap Kosongkan Isi Gelas

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Penangkal Krisis Pangan Itu adalah: Diversitas Pangan

29 Desember 2022   12:36 Diperbarui: 30 Desember 2022   11:50 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR)

Seraya menuju halaman akhir tahun 2022 ini, ada sebuah artikel yang lewat tanpa permisi di timeline pencarian saya. Judul artikelnya cukup memukau dan memiriskan. Inti dari artikel itu adalah peringatan menteri keuangan bahwa Indonesia tahun 2023 terancam oleh krisis pangan dan energi.

Saya tergelitik dengan bahaya krisis pangan yang menjadi kekhawatiran itu. Soalnya, Indonesia ini sejak menjadi negara merdeka hingga kini masih memiliki kekuatan sektor pertanian. Bagaimana mungkin negara dengan gaung swasembada pangan beberapa dekade justru mengalami ketakutan oleh krisis pangan?

Setelah selesai membaca artikel tersebut, sejenak saya merenung. Saya berpikir bahwa kekhawatiran negara ini terhadap krisis pangan hanya viral di arena kalangan pejabat semata. Karena secara historis, Indonesia pernah menerapkan diversifikasi pangan dan kebijakan ini dinilai cukup efektif mempertahankan ketahanan pangan nasional.

Beras adalah candu

Sadar atau tidak, masyarakat kita saat ini masih digiring kepada "politik beras" sebagaimana pengalaman Orde Baru. Masyarakat diarahkan bahwa pangan nasional utama itu adalah beras.

Hegemoni ini semakin mengendap dalam paradigma masyarakat. Sampai-sampai terdapat anggapan bahwa makan itu adalah ketika kita telah makan nasi (dari beras). Hilangnya perspektif diversifikasi pangan menjadikan konsep dan definsi pangan menyempit. Bahwa yang dinamakan pangan itu hanyalah beras dan beras.

Seiring dengan jumlah penduduk yang terus tumbuh, permintaan pangan (beras) pun meningkat. Ketergantungan terhadap pangan (beras) semakin tak terbendung. Permintaan beras yang meningkat ini secara langsung menunjukkan konsumsi masyarakat terhadap beras kian meningkat.

Maka tidak mengagetkan bila beras sebagai sumber pangan utama masyarakat Indonesia hingga kini menduduki porsi teratas kontributor inflasi baik di level daerah maupun nasional. Bahkan, Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan, beras merupakan komoditas penyumbang inflasi sejak Juli 2022.

Mengingat porsi beras demikian besar, harga tersentil naik, langsung berefek pada inflasi. November kemarin, inflasi tercatat mencapai 5,42 persen secara tahunan dengan beras menjadi kontributor utamanya. Sejauh ini, alasan yang dapat dipegang logis tingginya inflasi masih berputar akibat naiknya harga beras, harga transportasi distribusinya, dan stok beras.

Diversitas pangan

Dulu, sebelum Indonesia ini digempur oleh pangan beras dari China dan India, sebagian besar pangan utama masyarakat Indonesia adalah sagu. Selain sagu, masyarakat juga banyak mengkonsumsi jagung, singkong, talas, dan umbi-umbian lainnya sebagai menu santapan sehari-hari.

Namun, seiring dengan masuknya Belanda ke Nusantara, diversitas pangan itu mulai meredup. Konsep pangan yang semula keberagaman menjadi keseragaman pangan.

Dari keseragaman pangan inilah kemudian beras dipaksakan menjadi bahan pangan pokok masyarakat. Propaganda yang lambat laun menjadi paradigma membuat "perut" masyarakat (mungkin) secara fisiologi dan morfologi berubah. Perut sebagian masyarakat menjadi alergi dengan pangan pokok selain beras. Diversitas pangan yang memberi ruang terbuka bagi setiap masyarakat untuk menentukan pilihan pangan pokoknya berubah drastis menjadi konvergenitas pangan, bahwa pangan pokok hanyalah: beras.

Bagaimana lantas mau kaget dengan beras menjadi kontributor inflasi utama? Konsumsinya tinggi dipicu ketergantungan. Padahal, nasi jagung juga tidak kalah mengenyangkan perut di kala beras di rumah-rumah masyarakat telah habis. Pun nasi singkong, talas, atau umbi-umbian lainnya juga tak kalah mengenyangkan dan cukup memenuhi perut yang lapar. Di samping itu, cara tanam jagung, singkong, talas, dan umbi-umbian lainnya tergolong lebih mudah daripada padi.

Oknum di balik efek candu

Seiring berjalannya waktu, agaknya beras semakin digandrungi dan menjadi komoditas politis oknum-oknum tak bertanggungjawab. Ketergantungan masyarakat terhadap beras sebagai pangan pokoknya seketika menjadi lahan ekonomis dan politis. Ketergantungan terhadap beras ini bahkan menjadi benih-benih yang berpotensi besar sebagai ladang-ladang korupsi. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa kebijakan impor beras penuh dengan intrik dan alasan-alasan yang dinilai manipulatif.

Kebiasaan impor di tengah panen seakan menjadi kebijakan yang dapat dibenarkan oleh petani-petani dalam negeri. Bila diklarifikasi, lagi dan lagi alasan impor beras adalah untuk memenuhi kebutuhan industri atau lainnya.

Lantas di penghujung tahun, menteri keuangan memberi pernyataan kekhawatirannya dengan krisis pangan. Sangat kontraproduktif dengan kondisi geografis Indonesia yang (masih) dipenuhi lahan luas untuk menerapkan diversitas pangan. Apakah Indonesia bisa merasa aman pangannya dari krisis dengan memenuhi beras nasional dari impor?

Sungguh sedari awal, upaya diversitas pangan negara ini: belum serius ditunaikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun