Dulu, sebelum Indonesia ini digempur oleh pangan beras dari China dan India, sebagian besar pangan utama masyarakat Indonesia adalah sagu. Selain sagu, masyarakat juga banyak mengkonsumsi jagung, singkong, talas, dan umbi-umbian lainnya sebagai menu santapan sehari-hari.
Namun, seiring dengan masuknya Belanda ke Nusantara, diversitas pangan itu mulai meredup. Konsep pangan yang semula keberagaman menjadi keseragaman pangan.
Dari keseragaman pangan inilah kemudian beras dipaksakan menjadi bahan pangan pokok masyarakat. Propaganda yang lambat laun menjadi paradigma membuat "perut" masyarakat (mungkin) secara fisiologi dan morfologi berubah. Perut sebagian masyarakat menjadi alergi dengan pangan pokok selain beras. Diversitas pangan yang memberi ruang terbuka bagi setiap masyarakat untuk menentukan pilihan pangan pokoknya berubah drastis menjadi konvergenitas pangan, bahwa pangan pokok hanyalah: beras.
Bagaimana lantas mau kaget dengan beras menjadi kontributor inflasi utama? Konsumsinya tinggi dipicu ketergantungan. Padahal, nasi jagung juga tidak kalah mengenyangkan perut di kala beras di rumah-rumah masyarakat telah habis. Pun nasi singkong, talas, atau umbi-umbian lainnya juga tak kalah mengenyangkan dan cukup memenuhi perut yang lapar. Di samping itu, cara tanam jagung, singkong, talas, dan umbi-umbian lainnya tergolong lebih mudah daripada padi.
Oknum di balik efek candu
Seiring berjalannya waktu, agaknya beras semakin digandrungi dan menjadi komoditas politis oknum-oknum tak bertanggungjawab. Ketergantungan masyarakat terhadap beras sebagai pangan pokoknya seketika menjadi lahan ekonomis dan politis. Ketergantungan terhadap beras ini bahkan menjadi benih-benih yang berpotensi besar sebagai ladang-ladang korupsi. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa kebijakan impor beras penuh dengan intrik dan alasan-alasan yang dinilai manipulatif.
Kebiasaan impor di tengah panen seakan menjadi kebijakan yang dapat dibenarkan oleh petani-petani dalam negeri. Bila diklarifikasi, lagi dan lagi alasan impor beras adalah untuk memenuhi kebutuhan industri atau lainnya.
Lantas di penghujung tahun, menteri keuangan memberi pernyataan kekhawatirannya dengan krisis pangan. Sangat kontraproduktif dengan kondisi geografis Indonesia yang (masih) dipenuhi lahan luas untuk menerapkan diversitas pangan. Apakah Indonesia bisa merasa aman pangannya dari krisis dengan memenuhi beras nasional dari impor?
Sungguh sedari awal, upaya diversitas pangan negara ini: belum serius ditunaikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H