Suatu ketika, saya hendak ke luar kota memanfaatkan transportasi umum. Di tengah perjalanan, seorang tukang ojek berteriak menawarkan jasa ojeknya. Ini merupakan kesempatan bagus bagi saya untuk sekadar mendapatkan informasi sekaligus data.
"Ojek, Mas, mau kemana saya antar," tawarnya.
"Dengan aplikasi berapa, Pak?" tanya saya.
"Normalnya sih sekitar 20.000, Mas. Tapi, sejak BBM naik, jadinya 26.000. Bagaimana?" jawabnya.
Saya lantas berpikir, sebelum harga BBM naik, tarif ojek cukup merogoh Rp. 20.000,-. Setelah BBM naik, saya perlu tambahan Rp. 6.000,- supaya bisa naik. Mumpung belum naik, saya coba bertanya untuk tarif versi manualnya. Namun, harganya justru lebih mahal. Tarif ojek manual ia hargai Rp. 30.000,- untuk jarak yang sama. Karena itu, saya putuskan naik ojek dengan tarif aplikasi.
Seiring banyaknya pengguna kendaraan pribadi, minat masyarakat terhadap kendaraan umum kian menipis. Fakta itu disampaikan tukang ojek selama perjalanan. Ditambah opininya perihal kenaikan harga BBM. Menurutnya, minat masyarakat terus berkurang di tengah kenaikan harga BBM subsidi. Kondisi itu membuat kehidupannya semakin sulit. Sehari dapat 5 orang pelanggan saja untung-untungan.
Ia terus saja bercerita mengenai kondisi ekonomi keluarganya. Sebagai pendengar dan tidak mempunyai kekuatan apapun, saya hanya bisa berkata iya-iya saja.
Keseimbangan baru
Kebijakan menaikkan harga BBM belum kali ini saja terjadi. Sekilas memang sempat membuat shock ekonomi masyarakat. BBM yang pada dasarnya merupakan komoditas yang dimonopoli pemerintah, berapa pun harga yang dipatok, masyarakat mau tidak mau harus tetap membelinya.
Shock ekonomi itu hanya bertahan beberapa saat, kemudian berangsur melandai pada posisi keseimbangan baru permintaan dan penawaran. Waktu yang diperlukan dari shock menuju keseimbangan baru pastinya memicu efek domino yang secara langsung dirasakan masyarakat. Mulai dari kebutuhan pokok yang terkerek naik hingga desakan untuk mengurangi frekuensi berkendara yang tidak perlu.
Terhitung sejak pemberlakuan harga baru untuk BBM subsidi, misal pertalite, naik dari Rp. 7.650,- per liter menjadi Rp. 10.000,-, harga sembako mulai merangkak naik dengan rentang 5 sampai 10 persen (Kompas, 12/09/2022). Situasi ini diikuti dengan sentimen masyarakat yang cenderung negatif terhadap harga BBM.