Hingga kini, minyak goreng masih menjadi perhatian masyarakat. Setelah pemerintah mengeluarkan kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng menurut kualitasnya, nyatanya harga minyak goreng belum seragam di sejumlah wilayah. Ini merupakan masalah serius dan kalau dibiarkan, panic buying akan terulang kembali.
Kita ketahui, sejak 1 Februari lalu Kementerian Perdagangan telah memberlakukan HET tersebut. Harga seliter minyak goreng curah diatur dengan HET sebesar Rp. 11.500,-; minyak goreng kemasan sederhana sebesar Rp. 13.500,-; dan minyak goreng kemasan premium sebesar Rp. 14.000,-. Pengendalian harga dengan memberlakukan HET ini tentu disambut meriah oleh masyarakat, meski pemerintah agaknya tak mampu menjamin ketersediaan minyak goreng di pasar.
Di samping itu, penerapan HET minyak goreng diketahui hanya berlaku pada toko-toko moderen. Pemberlakuan HET yang tidak adil ini menyebabkan ketimpangan harga di berbagai wilayah.
Tadi pagi, saya sempat bercengkramah dengan adik saya mengenai kondisi penyebaran Omicron dan berujung bicara minyak goreng. Tidak hanya di daerah perkotaan, dampak kelangkaan minyak goreng sebagai akibat dinamisnya harga minyak goreng juga dirasakan oleh masyarakat pedesaan, yang notabene akses terhadap pasar relatif lebih sulit daripada wilayah perkotaan. Hingga kemarin (11/2/2022), di DKI Jakarta saja, ketimpangan harga minyak goreng masih terjadi. Kondisi serupa juga terjadi sampai pasar tradisional wilayah Nongkojajar, Jawa Timur.
Menurut penelusuran adik saya yang kemarin, mencari minyak goreng di sejumlah toko moderen seolah sedang bermain petak umpet. Harga minyak goreng memang telah sesuai dengan kebijakan pemerintah. Terpampang jelas di bandrol-bandrol harga toko moderen, tapi sayangnya stoknya ludes entah terjual, atau entah kemana. Harga minyak goreng (kualitas curah) yang bervariasi malah ditemukan adik saya di sejumlah toko pasar tradisional Nongkojajar.
Dari penelusuran itu, saya menyimpulkan ketimpangan harga minyak goreng masih terjadi. Harga minyak goreng di pasar tradisional juga belum tersentuh kebijakan pemerintah saat ini.
Memantau permintaan minyak goreng dengan big data
Untuk menambah kontribusi tulisan ini, analisis terhadap situasi perminyakgorengan saya lanjutkan dengan memanfaatkan big data. Dengan big data, kita bisa melihat sekilas tingkat permintaan masyarakat terhadap komoditas tertentu, khususnya minyak goreng ini. Tak sulit-sulit, saya memanfaatkan google trend index (indeks pencarian google) dengan menggunakan kata kunci yang bisa dijadikan pendekatan ukuran yang saya duga erat kaitannya dengan permintaan minyak goreng.
Dari gambar (1) ini terlihat bahwa permintaan minyak goreng di jagad maya terlihat meningkat tajam di tanggal 19 hingga 21 Januari 2022. Peningkatan tajam ini dugaan kuat saya diakibatkan tingginya intensitas masyarakat dalam memantau harga dan komoditas minyak goreng melalui mesin pencari google. Tidak hanya itu, tingginya intensitas pencarian masyarakat dalam interval waktu tersebut juga menunjukkan shock respon masyarakat terhadap pemberlakuan HET minyak goreng.
Sebagai dampak kebijakan HET, indeks pencarian google terhadap komoditas minyak goreng dan harganya cenderung naik bila dibandingkan sebelum tanggal 19 Januari 2022. Naiknya indeks ini bisa terjemahkan bahwa masyarakat mulai aktif mengamati harga dan stok minyak goreng di pasaran melalui google.
Kalau kita amati secara spasial (gambar 2), indeks pencarian google dengan kata kunci "harga minyak goreng" tertinggi berada di Jawa Timur (100), DI Yogyakarta (94), Aceh (91), Jawa Tengah (88), dan Sulawesi Selatan (84). Hal ini sekaligus mengkonfirmasi diskusi saya dan adik saya tentang situasi terkini komoditas minyak goreng di daerah Nongkojajar, Jawa Timur tadi. Ini juga berarti bahwa respon atas kebijakan pemberlakuan HET minyak goreng paling intens terjadi di wilayah Jawa Timur.