Kasus plagiarisme merupakan hal wajar terjadi dalam dunia literasi. Sayangnya, kekuatan hukum mengenai sanksi plagiarime di Indonesia bisa dikatakan masih lemah. Tak banyak platform atau media literasi yang melakukan pengawasan atas karya yang mereka rilis. Ada yang ketat, ada yang lengah. Iseng-iseng, sebelum memosting artikel ini, tadi saya sengaja mengunggah sebuah artikel yang seluruh isinya merupakan hasil copy dan paste artikel blog saya sendiri di Kompasiana ini.
Gercep. Artikel tersebut sekelebat dihapus karena mengandung unsur plagiat yang saya lakukan di dalam artikel unggahan saya. Patut diacung jempol, tidak sampai 24 jam, pihak Kompasiana dengan cepat menditeksi bahwa artikel yang saya muat mengandung plagiarisme. Setelah lama tak pernah menulis di kompasiana, saya menilai performa dari kompasiana semakin meningkat untuk mempublikasikan sajian informasi yang berkualitas bagi pembaca daring.
Sayangnya, hal serupa tak diterapkan seluruhnya di negeri +62 ini. Beberapa bulan lalu, kebetulan saya mencari sebuah buku terkait genre buku yang sedang menjadi proyek penulisan saya. Sejumlah produk buku yang relevan banyak saya temukan di toko daring. Harganya pun rata-rata lebih murah. Namun, tiba-tiba saya kaget, ada sebuah buku yang isinya sama persis seluruhnya dengan isi buku yang telah saya tulis sebelumnya.
Karena tak percaya begitu saja, diam-diam saya beli buku tersebut. Harganya pun terbanting-banting, jauh lebih murah dari buku yang pernah saya tulis. Kebetulan memang seluruh isi buku itu berbau matematis yang notabene banyak rumus tertuang di dalamnya. MasyaAllah saya bilang, setelah buku yang saya pesan itu sampai di rumah, lantas saya membuka dan mencermati seluruh isinya, isinya sama persis!.
Mendapati kejadian ini, apa boleh buat, saya hanya bisa melaporkan kasusnya kepada penerbit yang menangani jasa penerbitan buku saya. Banyak teman-teman penulis juga memberikan saran agar saya melaporkan kasus ini kepada pihak kepolisian supaya diproses. Pihak penerbit sendiri rupanya tampak tidak siap dari segi kekuatan hukum ternyata. Tak banyak yang bisa mereka lakukan untuk "membela" kasus plagiarime atas buku saya itu. Lantas mereka hanya memotivasi saya sendiri untuk mengangkatnya ke ranah pidana.
Di rumah, saya hanya bisa memandangi buku tersebut. Tanpa nama penulis, tanpa nama penerbit atau setidaknya nama CV percetakan dan alamatnya. Covernya pun asal jadi dengan kualitas tintanya rupanya hasil copy dari tempat fotokopi. Karena tak mau berlarut-larut dalam ketidakjelasan, saya memutuskan untuk menguapkan kasus plagiarisme buku saya tersebut. Sebab, di satu sisi, teman-teman penulis menyarankan agar saya menghilangkan identitasnya supaya tidak semakin membranding buku tersebut.
Begitu lemahnya payung hukum literasi di negara +62
Saya berpendapat demikian karena memang tidak ada pihak yang benar-benar serius menangani penjajahan karya literasi di negara ini. Ketika kita membuka sebuah buku terbitan tertentu, di halaman awal pastinya kita sering menemui kalimat peringatan mengenai sanksi bila karya tersebut diplagiat dan disebarluaskan tanpa seizin penerbit. Tertulis jelas dan gamblang, bahkan nominal dendanya pun selangit. Bisa membuat kaya mendadak. Tetapi semua itu kosong dan tak pernah ada.
Pemerintah dan pihak penerbitan sendiri agaknya bisa dibilang kurang serius dalam menangani kasus sekaligus mem-backup korban plagiarime di negara ini. Semua hanya aturan dan aturan serta denda. Tidak ada supremasi. Tidak ada implementasi. Di sisi penerbit sendiri, meski satu sisi bakal sangat merugikan mereka akibat ketidaksehatan persaingan usaha, tak banyak dari mereka yang mempunyai divisi hukum melekat sebagai backup apabila suatu ketika terjadi kasus plagiarisme atas produk mereka. Mereka tak bisa melakukan apa-apa.
Tidak berani melapor
Saya memang tidak berani melapor karena mempertimbangkan berbagai hal. Salah satunya, sebagai pihak korban plagiarime, saya masih ragu pada pihak terkait justru tidak melakukan tindak lanjut atas kasus yang saya alami ini. Percuma dan boleh jadi saya harus merogoh sejumlah biaya yang belum tentu mendapat jaminan bahwa penjahat literasi itu dapat terungkap.
Di Indonesia ini, kejadian plagiarisme sangat sering terjadi. Mulai dari penulis amatiran seperti saya, sampai penulis berkaliber dengan buku best seller sekalipun. Orientasi menulis yang berbeda tentu memengaruhi para korban plagiarisme untuk melaporkan kasusnya atau tidak kepada pihak berwenang. Sebab payung hukum dan sanksi di bidang literasi di Indonesia ini masih belum diterapkan. Peraturannya asal ada, asal jadi, selesai. Padahal, payung hukum itu bertujuan sebagai elemen perlindungan atas sebuah karya.
Upaya yang saya lakukan
Saya memang tidak mampu menangani secara serius kasus plagiarisme terhadap buku karya saya tersebut, namun setidaknya yang saya lakukan adalah berupaya menyumbat kran-kran penjualan daring atas buku itu. Setiap kali ada toko daring dalam platform tertentu yang menjual buku saya, langsung saya laporkan kepada adminya bahwa produk tersebut adalah benar-benar hasil plagiat atas buku saya. Soal apakah buku itu diperjualbelikan secara liar secara offline, tak ada daya dan upaya, saya tak bisa berbuat apa-apa.