Beberapa waktu lalu, mata kita digelitik oleh kejadian napi lepas dari rutan. Informasinya sih lepasnya napi ini dikarenakan oleh over kapasitas. Ditambah dengan kejenakaan maraknya pungli di rutan. Maklum, gaji petugas rutan sepertinya tidak cukup untuk beli rokok, cabai merah, bawang dan daging serta susu anaknya. Mungkin.
Rutan kita ketahui sebagai sebuah lembaga yang bertujuan memasyarakatkan narapidana. Memasyarakatkan bisa dipahami, menjadikan mereka sebagai masyarakat kembali. Karena sebelumnya ia gagal menjadi masyarakat, ia gagal berbuat baik. Ia gagal menemukan kehendak Tuhan di dalam kehendak dirinya. Namun sungguh miris, jumlah rutan dari aspek luasnya tak mampu menampung napi yang semakin banyak di Indonesia. Napi bahkan harus tidur berdiri dalam jeruji karena sesaknya penghuni.
Rutan yang bertujuan memanusiakan napi ternyata selama ini seperti sengaja dibiarkan. Rutan seolah menjadi rimba terkurung, dimana manusia yang gagal menjadi manusia diperintah membunuh bahkan memakan temannya sendiri. Biaya keseharian napi juga dianggarkan begitu kecil oleh negara. Hanya Rp. 6.000,- per hari dipaksakan untuk mencukupi perut dan penutup kulitnya.
Bila napi dianggap sebagai manusia yang gagal bermasyarakat, maka dimanakah kemanusiaan negara ini?. Ada yang konslet sebenarnya. Bila biasanya kita dengar istilah miring "peraturan diciptakan untuk dilanggar" maka sekarang istilah ini dimanipulir.
Memasyarakatkan manusia gagal secara tak manusiawi. Ada sinyalemen kekonsletan rutan Indonesia ini akibat anggaran dan anggaran. Adapula kesemua itu akibat kekurangan SDM petugas rutan serta kegagalan revolusi mental petugas rutan.
Kita dibuat tercengang dengan kondisi ini. Jika manusia sama di hadapan hukum, maka kenapa tak sama dalam jeruji hukum itu sendiri?. Jeruji rutan seperti di film-film. Ia tak lebih dari gerbong -gerbong berstrata sosial ekonomi. Napi yang kaya dan punya uang bisa beli gerbong eksekutif. Sementara, yang jelata hanya bisa nyangkut di gerbong ekonomi paling luar atau di atas gerbong yang sewaktu-waktu nyawanya tak lebih berharga dari harga remah-remah di pojok saku celananya.
Koruptor dijeruji seleluasa hotel berbintang. Sedangkan yang cuma mencuri 7 batang kayu bakar dikurung seleluasa liang lahat. Bila negara ini sekarang "jahat" terhadap manusia jahat, sepertinya tak cukup jadi alasan sebab jumlah penjahat makin nambah.
Jumlah kejahatan sejatinya adalah salah satu indikator keberhasilan pemerintah mendidik masyakat serta memenuhi segala hajat mereka. Kegagalan memasyarakatkan napi seharusnya juga menjadi bahan koreksi bersama penyedia panti napi. Kejenuhan terhadap keadilan dan komitmen pemerataan kesejahteraan menjadikan ketakmanusiaan masyarakat meletup.
Rutan yang seharusnya berkapasitas 3000 an, malah dihuni sekitar 9000 an. Rutan berkapasitas 9000 an dihuni sekitar 12000 an. Ada kelebihan kapasitas hingga 300% dan bisa dibayangkan betapa sesaknya jeruji negara ini demi menerapkan hukum. Meski kita boleh bertanya,"siapa yang menikmati keadilan hukum?"
Di beberapa negara, jeruji besi rutan itu ada yang sampai disewakan atau dikoskan. Sebab, tingkat pelanggaran pidana sangat kecil, yakni sekitar 0,9% saja.
Jeruji sebenarnya bisa kita kamuflasekan sebagai sekolah menjadi masyarakat. Pelajarannya mendidik napi bisa bermasyarakat dan menopang kehidupannya secara mandiri. Kalau di bayangkan, di negara yang tingkat pelanggaran pidananya kecil, mungkin napinya bisa tidur nyenyak dan kebutuhan makan rutan mencukupi.
Sebagai warning ke depan, DPR katanya sih punya opsi membuat peraturan yang mengatur bagaimana memanajemen rutan-rutan Indonesia. Hmmm...masyakat sepertinya tak sabar menunggu produk negara tersebut. Kalau tidak, bisa-bisa rutan di Indonesia meledak satu per satu. Bukan karena diteror bom, tapi karena kebanyakan kapasitas, hehe...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H