Kenaikan harga-harga barang menjelang bulan Ramadhan seakan menjadi sebuah kebiasaan yang lumrah terjadi. Sentimen negatif masyarakat terhadap sejumlah komoditas pokok selalu terjadi bahwa terkadang bisa dikatakan berlebihan. Ramadhan tinggal beberapa minggu lagi, harga-harga kebutuhan pokok mulai merangkak naik. Semakin meningkatnya harga bahan kebutuhan pokok tak lepas dari kondisi inflasi yang terjadi selama bulan April 2017.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa inflasi nasional pada April 2017 adalah sebesar 0,09% yang artinya terdapat sedikit kenaikan relatif sejumlah barang kebutuhan masyarakat sebesar 0,09%. Dari 92 kota inflasi yang menjadi titik pengukuran inflasi di Indonesia, sebanyak 53 kota mengalami inflasi, sedangkan sisanya mengalami deflasi. Artinya, sejak April 2017, telah ada tanda-tanda bahwa kenaikan harga kebutuhan pokok disinyalir terancam meningkat pada bulan Mei hingga menjelang Hari Raya Idul Fitri nanti. Menurut Kepala BPS, Suhariyanto, ke depan, yang perlu diperhatian dan dicermati bersama oleh pemerintah adalah pergerakan harga bawang putih, daging ayam ras, buah jeruk dan rokok. Aspek sumbangsih setiap komoditas haruslah menjadi perhatian supaya kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah benar-benar tepat sasaran.Â
Namun, ada yang menarik pada inflasi bulan April kali ini. Share terbesar komoditas inflasi adalah lebih disebabkan karena adanya kebijakan pemerintah, khususnya penyesuaian kembali Tarif  Dasar Listrik, Air, Perumahan dan Gas serta Bahan bakar lainnya. Komoditas ini semakin berpotensi memperbesar margin perdagngan yang pada hilirnya meningkatkan harga-harga kebutuhan pokok.
Bila kita sandingkan dengan Nilai Tukar Petani (NTP), inflasi pada April 2017 tak ubahnya semakin memperburuk nasib para petani. BPS merilis angka NTP nasional adalah sebesar 100,01 atau sedikit mengalami kenaikan dibandingkan bulan sebelumnya, yakni sebesar 0,06%. Kita ketahui bahwa NTP merupakan rasio antara Nilai yang diterima oleh petani terhadap nilai yang dibayarkannya. Terlihat bahwa inflasi selalu lebih besar daripada persentase kenaikan NTP. Hal ini menunjukkan bahwa petani masih merugi akibat harga kebutuhan pokok yang mereka beli lebih tinggi daripada apa yang mereka dapatkan dari hasil bertani.
Meski angka inflasi merepresentasikan harga-harga perkotaan, namun sedikit banyak harga itu juga menjadi harga referensi perdagangan secara umum. Ongkos produksi pertanian di satu sisi memang masih bisa dijangkau oleh petani. Namun, di satu sisi, kebutuhan konsumsi rumah tangga pertanian mengalami peningkatan akibat biaya-biaya lain misalnya listrik, air, rokok dan minyak tanah. Stigma terhadap harga kebutuhan pokok menjelang Ramadhan selalu akan terjadi kenaikan harga alias terjadi inflasi.Â
NTP yang jauh lebih kecil daripada inflasi menunjukkan bahwa daya beli para petani berada dalam keterancaman ekonomi. Sementara itu, keterancaman ekonomi inilah yang menimbulkan tingkat kemiskinan pada rumah tangga pertanian selalu lebih besar. Alur konsep ini selalu dapat terdeteksi setiap saat, sehingga pemerintah dan pihak terkait perlu melakukan pengawasan intensif terhadap gejolak harga yang bakal terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H