Mohon tunggu...
Joko Ade Nursiyono
Joko Ade Nursiyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 34 Buku

Tetap Kosongkan Isi Gelas

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Nasib Serat Kuno Sebagai Sumber Sejarah Nusantara

25 Agustus 2016   11:06 Diperbarui: 15 Juni 2017   12:54 503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku Serat Samsu Tabarit, dok.pri.

Serat kuno di Nusantara hingga kini masih belum terekspose dan tereksplor secara menyeluruh. Karena faktor pengantar literasi yang berbahasa kuno atau huruf kuno. Begitu sulitnya dipahami menyebabkan makna dan kandungan ajaran di dalam serat tersebut menjadi sia-sia. Kemajuan teknologi pun tak mampu menyediakan tool dalam rangka penterjemahan serat-serat kuno tersebut. Serat Samsu Tabarit saja, yang saya terjemahkan sendiri dengan mengacu pada penjelasan Ki Herman S J (bisa diunduh disini), pada beberapa diksi kuno, saya pun mengalami kesulitan di dalam mencerna maksud dan tujuan sebuh kalimat. 

Tak hanya itu, serat kuno sekelas Samsu Tabarit ini meski telah diubah dalam bentuk latin pada masa kesultanan Yogya, tetapi masih saja memerlukan kejernihan dan keluasan transformasi bahasa yang menjadi sari kata bahasa daerah lainnya, misalnya kata ngong. Kata ngong di dalam Serat Samsu Tabarit adalah kata yang paling sering muncul, terutama di dalam perbincangan antara Syeh Samsu Tabarit dan Maulana Jalaludin Ar Rummi. Namun, ternyata kata ngong tersebut berasal dari kata inyong yang artinya saya atau aku dalam bahasa ngapak dari Tegal dan sekitarnya.

Kerumitan diksi yang digunakan dalam Serat Samsu Tabarit juga terlihat pada penggunaan kata dumrojog. Penjelasan dari Ki Herman S J juga merupakan makna kias dan belum tergambar secara jelas. Dengan mengaitkan dengan sebutan-sebutan yang berasal dari daerah Jawa Timur, kata dumrojog erat sekali dengan kata grojog atau tempatnya disebut grojogan, artinya air yang mengalir dengan deras.

Padahal, tata bahasanya sudah tidak memakai huruf hanacarakan (tulisan Jawa kuno), tetapi dalam pemaknaan yang pas dengan konteks kekinian masih perlu digalih lagi secara mendalam. Bagaimana mungkin generasi sekarang mampu mengambil nilai-nilai teladan dari literatur semacam ini?. Wong penterjemah modernis hanya terpaku pada literatur berbahasa asing atau sastra asing. Di sini saya sendiri merasa sedih, terpaan persaingan global justru semakin menjauhkan kita dan generasi muda untuk mengubur sejarah sedalam mungkin. Atau kalau tidak demikian, kelak sejarah Nusantara ini hanyalah sebuah dokumen yang digunakan sebagai pajangan di museum saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun