Mohon tunggu...
Joko Ade Nursiyono
Joko Ade Nursiyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 34 Buku

Tetap Kosongkan Isi Gelas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cara Menjaga Kerukunan Umat Beragama Melalui Media Sosial

18 Agustus 2016   18:29 Diperbarui: 4 April 2017   18:18 5245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tri kerukunan beragama, sumber: Dok.Pri.

Tidak hanya di negara maju, media sosial, terutama berbasis virtual hingga kini masih banyak digunakan di Indonesia. Data Internet Live States mencatat bahwa Indonesia pada tahun 2015 saja telah menduduki peringkat ke 12 sebagai negara dengan jumlah pengguna atau user internet terbanyak di dunia. Setidaknya terdapat sekitar 54 juta orang yang mempunyai akses terhadap internet. Menariknya, dari jumlah itu, seluruh penggunaannya dikatakan fokus pada media sosial.

Jumlah itu masih merupakan hal yang wajar karena media sosial memang begitu banyak memberikan manfaat positif kepada penggunanya. Mulai dengan kemudahan di dalam menjalin persahabatan, memperkaya ilmu pengetahuan dan teknologi, hingga menyangkut persoalan krusial dalam kehidupan, misalnya kehilangan orang terdekat kita hingga soal keterpurukan ekonomi yang melanda diri kita. Namun, di samping manfaat yang positif itu, media sosial juga memberikan dampak negatif bagi penggunanya, khususnya dalam merawat hubungan baik dan kerukunan beragama.

Kerukunan merupakan sebuah isu yang kontekstual dalam Negara Kesatuan seperti Indonesia. Hal ini dikarenakan Indonesia mempunyai keberagaman dengan entitas yang unik. Terlebih pada tahun 1970 hingga 1990-an, pemerintah menerapkan kebijakan transmigrasi dalam rangka penyebaran penduduk dan pembangunan di seluruh wilayah. Kebijakan ‘mengocok’ penduduk ini menjadi konsekuensi logis bagi seluruh masyarakat untuk dapat beradaptasi dengan kalangan pendatang. Pun sebaliknya bagi masyarakat asli suatu daerah. Terlebih bila dikaitkan dengan proses membaurnya berbagai umat beragama di setiap daerah. Proses Indonesia saat itu terlihat pelik. Gesekan sosial dengan dalih agama kerap kali terjadi. Terlebih saat pasca reformasi, tak sedikit konflik hingga terjadi peperangan antar masyarakat karena terlalu timpangnya pemahaman dan mudahnya masyarakat untuk diprovokasi. Mulai dari kasus Gereja Yasmin di Bogor, konflik Poso, hingga penolakan warga Ahmadiyah dan Syiah di beberapa daerah. Belum lagi soal kasus Jaringan Islam Liberal (JIL), kontradiksi pembelaan kelompok yang dituduh Komunis dan persoalan etnis Tionhoa yang semakin menambah daftar persoalan kompleks tentang kondisi kerukunan beragama di Indonesia. Kondisi ini menunjukkan kurangnya sinergi bangsa dan negara dalam menjamin kebebesan dalam beragama di Indonesia.

Saat ini beda lagi. Di era media sosial, konflik yang berbau agama justru lebih intens terjadi. Kita dihadapkan pada ancaman-ancaman disintegrasi agama yang lebih halus tetapi begitu viral dalam penyebarannya. Pastinya kita masih ingat tiga fondasi kerukunan beragama yang juga termaktub dalam konstitusi kita, kerukunan inter umat beragama, kerukunan antar umat beragama dan kerukunan umat beragama dan pemerintah.

Tri kerukunan beragama, sumber: Dok.Pri.
Tri kerukunan beragama, sumber: Dok.Pri.
Kalau dulu, ancaman yang menyolok adalah antar komponen kerukunan tersebut. Namun, dengan hadirnya media sosial, justru ancaman disintegrasi muncul dalam setiap komponen dan antar komponen. Dan anehnya, oknum-oknum yang menjadi sumber perpecahan adalah perorangan. Tidak hanya itu, bila ditinjau dari segi motifnya saja kebanyakan hal-hal yang sepeleatau tidak begitu penting. Apa buktinya? Coba kita amati dan kita analisis beberapa kasus riil berikut.

Contoh kasus riil penyelewengan media sosial, sumber: Dok.Pri.
Contoh kasus riil penyelewengan media sosial, sumber: Dok.Pri.
Media sosial tercatat mulai banyak digunakan sekitar 2008-an. Sejak saat itu hingga kini, kasus penyelewengan fungsi dari media sosial sangat sering terjadi, terutama berkaitan soal agama. Berdasarkan gambar, bahwa salah satu penyebab dari seorang pemuda yang menghina agama Hindu di Bali masuk dalam perkara pidana adalah ketidakmampuannya untuk mengutarakan ketikdaksetujuannya terhadap apa yang dilakukan oleh warga Hindu saat itu. Otomatis, tanpa berpikir panjang, bagi si pelaku, media sosial menjadi media yang ampuh untuk menyalurkan kondisi tersebut. Ia kemudian melakukan aktivitas posting status di media sosial dan diakhiri dengan respon yang tidak baik dari masyarakat sekitarnya.

Berikutnya adalah kasus pidana hanya karena komentar pada sebuah status yang diposting seseorang. Ini menandaskan bahwa di dalam memberikan respon terhadap sebuah pernyataan atau postingan di media sosial pun, kita harus berhati-hati. Jangan sampai berniat hanya komentar seperti biasa, namun karena menurut komentator lainnya atau pihak yang mem-posting status bernada penghinaan agama, pelecehan agama atau penistiaan, lalu di-screen shoot (SS) kemudian berbuntut pelaporan kepada pihak berwajib. Betapa konyolnya hidup kita bila hal demikian yang terjadi melalui media sosial.

Contoh yang ketiga mengenai kasus yang menimpa seorang perawat tahun 2014 yang dipolisikan karena menghina tempat ibadah. Si pelaku merasa gusar karena pekerja pembangunan rumah ibadah menyetel musik di tempat ibadah terlalu keras. Si pelaku kemudian posting status dan menghina tempat ibadah. Hanyasebab mengetik tak sampai sebuku, postingan tersebut begitu viral di media sosial sehingga menyebabkan respon buruk dari pihak pembangunan. Alhasil dipidanakan.

Menurut hasil survei Kementerian Agama (Kemenag), Indeks Kerukunan Umat Beragama di Indonesia tahun 2015 adalah 75,36 dalam rentang 0 – 100. Artinya, tingkat kerukunan umat beragama di Indonesia ini adalah baik. Terlebih lagi pada tahun 2016, pastilah masih diharapkan dalam rentang angka itu. Meski demikian, yang namanya ancaman terhadap kerukunan akan tetap ada, terutama melalui media sosial. Baru-baru ini saja, masyarakat dunia maya dihebohkan dengan tindakan penistaan agama yang dilakukan oleh 5 orang laki-laki, mereka memotret diri mereka ketika ibadah, namun tidak memakai pakaian yang pantas kemudian diunggah atau diposting di media sosial. Sontak, berbagai kalangan pun geram dan melaporkannya kepada polisi karena agamanya merasa dinodai dan dilecehkan. Ini sekaligus menunjukkan betapa masih lemahnya masyarakat Indonesia dalam menjaga hubungan baik dan kerukunan beragama.

Semua Salah Media Sosial! Benarkah Demikian?

Sebentar…kita harus dudukkan pikiran kita untuk mengulas lebih dalam soal kasus di media sosial yang berbuntut pidana ini. Kita mulai dengan membahas konsep “baik dan benar” terlebih dahulu. Dalam bersosialita, apalagi melalui jejaring sosial, kita perlu memahamkan diri kita mengenai sesuatu itu baik dan benar. Sebab, ada hal-hal yang menurut kita baik, tetapi tidak benar dari sudut pandang banyak orang. Ada juga hal-hal yang menurut kita benar namun tidak baik dari sudut pandang banyak orang. Coba kita bredeli satu per satu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun