Mohon tunggu...
Joko Ade Nursiyono
Joko Ade Nursiyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 34 Buku

Tetap Kosongkan Isi Gelas

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Hati-hati Menggunakan Istilah "Rata-rata"

19 Juni 2014   16:30 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:08 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14031449352092433284

Setiap hari, manusia tak terlepas dari yang namanya statistik. Mulai ada yang berpendapat statistik itu mudah hingga statistik itu sangat rumit (susah). Padahal, manusia secara tidak sadar melakukan kegiatan-kegiatan yang berbasis ilmu statistik dalam kehidupannya. Misalnya saja ketika kita ke pasar untuk membeli 2 kilogram buah jeruk manis, maka yang kita lakukan adalah mencicipi rasa dari beberapa buah jeruk yang sudah disediakan oleh penjual untuk dicicipi oleh pembeli. Dengan demikian, pembeli dapat memperkirakan rasanya apakah sudah sesuai dengan seleranya atau tidak, lalu ia dapat memutuskan membeli jeruk pada penjual yang bersangkutan atau justru mengurungkan niatnya membeli jeruk. Dari peristiwa inilah maka lahir konsep dalam statistik yang disebut sebagai sampel (contoh). Sampel sendiri dalam pengertiannya adalah bagian dari sebuah populasi yang mengandung karakteristik tertentu (sifat tertentu).

Lalu, ada pula istilah dalam ilmu statistik yang juga biasa digunakan oleh masyarakat terhadap hasil pengkalkulasian/perhitungan tertentu atau hasil penelitian tertentu, yaitu rata-rata (mean). Dalam kehidupan sehari-hari, konsep dan pengertian rata-rata ini sangat sering digunakan, khususnya dalam diskusi ilmiah hingga pembicaraan petani saat ditanya mengenai jumlah produksi berasnya per hari.

Anehnya, istilah rata-rata terkadang digunakan oleh pihak yang kurang mengerti untuk menyoal sebuah kebijakan atau menyangga sebuah argumen atau hasil penelitian. Ada banyak penggunaan istilah "rata-rata" dalam kehidupan sehari-hari yang patut untuk dimengerti oleh masyarakat, misalnya sebagai berikut :

1. Rata-rata jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2014 turun sekian persen.

2. Rata-rata jumlah pendapatan per kapita panduduk Indonesia di atas Rp. 500.000,-.

3. Rata-rata buah jeruk rasanya manis.

Dari ketiga contoh tersebut, jika tidak dipahami secara benar maka tentu akan menjadikan permasalahan hingga gesekan sosial (atau gesekan moral) antar dua pihak atau lebih. Memahami rata-rata itu adalah sebuah keumuman yang sebenarnya memiliki ketidakmampuan dalam menjelaskan kejadian atau fenomena yang tidak umum. Rata-rata jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2014 turun sekian persen, ini bukanlah dalih statistik sebagai instrumen untuk membohongi publik tetapi rata-rata yang dimaksud merupakan suatu nilai yang umum. Sama halnya dengan pernyataan rata-rata jumlah pendapatan per kapita panduduk Indonesia di atas Rp. 500.000,- dan rata-rata buah jeruk rasanya manis. Rata-rata disini adalah keumuman yang tidak mencakup peritiwa yang tidak umum.

Memang terdapat masyarakat yang kurang terima dengan pernyataan Rata-rata jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2014 turun sekian persen lantaran di desanya terdapat warga yang sangat miskin bahkan sehari-harinya makan pun jarang dan maksimal makannya nasi aking. Nah, hal ini bukanlah keumuman yang dimaksud rata-rata, ini adalah kekhususan yang jauh terhadap rata-rata. Kemudian pernyataan rata-rata jumlah pendapatan per kapita panduduk Indonesia di atas Rp. 500.000,-, lho...kok masih ada penduduk yang pendapatannya dibawah Rp. 5.000,- ? ini juga adalah kejadian khusus yang jauh dari rata-rata (jauh dari keumuman). Dan pernyataan rata-rata buah jeruk rasanya manis, lho ini juga tidak bisa dijadikan kesimpulan bahwa semua jeruk berasa manis, tetapi secara umum populasi dari jeruk itu berasa manis, karena bisa saja terdapat jeruk yang berasa asam hingga pahit atau bahkan busuk. Inilah kondisi yang disebut pencilan atau outlier dalam ilmu statistik.

Masyarakat Indonesia harus memahami statistik sehingga tidak mudah menyalahkan kebijakan dan argumen-argumen pemerintah. Meskipun hakikatnya istilah "rata-rata" ini hanyalah satu nilai yang mewakili keumuman data atau informasi, tetapi masyarakat tidak bisa sertamerta menyalahkan penggunaan istilah "rata-rata" ini. Inilah sekaligus menunjukkan kelemahan ilmu statistik karena ia tampak tak menghiraukan peristiwa pencilan (khusus) yang jauh dari keumuman kejadian, peristiwa atau informasi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun