Mohon tunggu...
Joko Ade Nursiyono
Joko Ade Nursiyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 34 Buku

Tetap Kosongkan Isi Gelas

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Rumus Cepat Membuat Siswa Didik Malas

11 Agustus 2014   18:59 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:49 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita memahami bahwa perkembangan teknologi dan informasi saat ini membuat manusia semakin ingin serba instan dan praktis. Realita yang kita lihat tidak hanya dalam satu cermin kehidupan, tetapi hampir semua aspek menampakkan bahwa manusia selalu ingin serba instan dan cepat.

Dalam bidang pendidikan misalnya, dulu ya, dulu sekali, yang namanya ujian sekolah atau ujian semester di tingkat pendidikan apapun, mulai dari SD hingga perguruan tinggi masih banyak yang mengandalkan ujian tulis atau esai. Alhasilnya, menurut pandangan pribadi, kemampuan setiap siswa didik memang akan terlihat secara nyata sebab dalam ujian mengerjakan soal esai, setiap siswa didik mau tidak mau harus menuliskan sebuah proses percariannya dalam menemukan jawaban akhir semua soal yang diberikan oleh guru. Sebetulnya dan hakikatnya, inilah sistem pembelajaran yang baik dan benar. Seorang siswa didik tak akan mampu menanamkan hobi mencontek dalam ujian, meskipun ada yang mencontek, maka pelakunya akan sangat kentara terlihat oleh guru atau korektor, misalnya dari langkah penyelesaian, urutannya, titik komanya, hingga notasi yang dipakai (misal mata uji eksakta). Meskipun dengan sistem ini, akan banyak waktu dan tenaga serta biaya peralatan (kertas utamanya), tetapi inti dalam pembelajaran kan tetap saja, mencetak generasi yang berilmu dan berbudi pekerti luhur. Berilmu saja tidak cukup saat ini, banyak orang yang berilmu justru menggunakan ilmunya dengan tak berbudi pekerti luhur, akibatnya tetap saja hasilnya generasi cerdas dalam mengibul.

Dan sepertinya, dengan kemajuan teknologi dalam proses pengkoreksian hasil ujian siswa didik berupa scanner (entah apalah namanya), meskipun katanya objektif, instan, dan cepat, namun berdampak buruk terhadap siswa didik. Sistem yang instan ini membuat pola pikir guru (pendidik) juga instan, katanya sih tidak mau rumit dan berbelit, namun dengan menggunakan teknologi ini, tampaknya korektor ujian dalam hal ini bisa pendidik malas untuk bekerja/melaksanakan amanahnya sebagai pendidik. Kertas jawaban yang dulu lebih tipis (biasanya disebut kertas buram, hasil daur ulang) kini menjadi kertas yang eksklusif, tebal, berwarna, dan elegan yang namanya Lembar Jawaban Komputer (LJK, bisa jadi ganti nama lagi nanti). Siswa peserta ujian hanya tinggal mengarsir jawaban yang menurutnya tepat, tanpa menuliskan proses bagaimana ia mendapatkan jawabannya, kalau jawabannya benar maka ada dua kemungkinan, (1) siswanya tidak begitu pandai tetapi beruntung (ngawur tapi bejo), (2) siswanya memang betul-betul pandai. Nah, sebenarnya dengan sistem lama (ujian esai), pendidik dapat melihat indikator keberhasilannya dalam pendidik dan mengajar. Sekali lagi, Mendidik dan Mengajar. Ujian dalam bentuk esai memberikan ruang bagi siswa peserta ujian untuk menulis jawabannya, sehingga guru/pendidik dapat secara langsung melihat kepribadian siswa didiknya melalui gaya tulisannya dan kerapian serta kebersihan lembar jawaban. Selain itu, dengan sistem ujian esai, keberhasilan guru dalam mengajar akan terlihat dari proses siswa peserta ujian menjabarkan prosesnya dalam mendapatkan jawaban soal. Ini sangat penting !. Dan, dengan sistem ujian esai, guru atau pendidik dapat mengamati mana siswanya yang memiliki daya nalar yang baik, mana yang buruk, mana yang sedang, serta siswa yang malas menjawab, siswa yang berkerja keras (banyak oretan atau bekas penghapus), mana siswa yang mencontek teman disampingnya, mana yang jujur, mana siswa yang jorok (bekas hapusan kurang bersih/digambari/dicoret-coret kertas jawabannya), mana pula siswa yang bersih dan rapi.

Ada lagi yang ironis untuk dibicarakan mengenai pengaruh negatif teknologi dalam pendidikan. Teknologi scanner ujian saat ini memang selain memerlukan strategi khusus untuk mengarsir juga perlu waktu yang ketat agar semua soal terjawab semua, secepat mungkin soal terjawab, maka kesempatan mengoreksi ulang jawaban akan semakin leluasa (berdasarkan pengalaman pribadi). Nah, kembali ke hasrat untuk serba instan, banyak siswa didik yang memburu dan mencari sebanyak mungkin, belajar dengan keras mengenai Rumus Cepat (RC). Kalau ulasan sebelumnya, sisawa didik dituntut agar mampu menguraikan alasan dan argumennya untuk mendapatkan atau menuju hasil (jawaban yang tepat), namun dengan menjamurnya Lembaga Bimbingan Belajar (LBB) atau komunitas belajar, atau les privat yang lain justru menjadikan siswa didik malas mempelajari mengenai hal substansial dalam menjawab sebuah soal dalam ujian. Mereka ingin serba cepat dan instan lantaran waktu ujian yang sangat sebentar. Banyak siswa kurang menyukai metode menjawab soal dengan cara yang panjang dan detail, mereka lebih memilih RC, dengan RC, jawaban pasti benar, dan dapat diselesaikan dalam waktu yang cepat, jujur, sebenarnya poin pendidikan dan pembelajaran kurang tepat dengan hanya mengandalkan Rumus Cepat/Rumus Jitu/Rumus Ampuh/antek-anteknya...pendidikan hanya mengajar instan dan cepat dapat mengakibatkan kemasalan pada generasi terididik. Mereka tidak mengerti bagaimana sebuah rumus didapatkan, mereka seolah hanya tinggal makan, tanpa mengerti arti kerja keras dalam mendapatkan makanan itu. Ini membentuk mental yang bodoh dan tulalit. Pendidikan seharusnya mengajarkan bagaimana proses kerjakeras dibalik sebutir nasi, mulai dari lahan digemburkan dulu, dibajak, hingga dipanen, tak sampai disitu, padi digiling agar memisah dengan gabahnya, jadilah beras, dari beras juga tak langsung dimakan, dimasak dulu, pakai air, masak pakai kayu, kompor, hingga masak, barulah dapat dimakan. Nah !, proses inilah yang tidak tampak dalam pendidikan berbasis teknologi saat ini, khususnya saat proses ujian sekolah. Sistem yang serba instan inilah yang menanamkan jiwa tak menghargai orang lain/tak menghargai kerja keras kepada siswa didik saat ini.

Pandai sih pandai, tetapi gagap susbtansial pendidikan, sama saja misi pendidikan terbilang gagal. Rumus Cepat tahu, tetapi disuruh menjabarkan bagaimana rumus tersebut tercipta tidak bisa, nah.

Sebenarnya, pemerintah terutama kemendiknas tidak perlulah mempersulit pendidikan dalam negeri ini, sebab, menurut pribadi saya sih, sama saja, dari sistem kurikulum pendidikan yang pertama saya ikuti dulu 1994 hingga sekarang, materinya lho sama saja, hanya beda karena pemindahan materi, penaikan level kesulitan, dan selainnya hanya untuk mempertebal buku pelajaran saja (boleh lah saya sebut bertele-tele), maklum, anggaran pendidikan kan harus dimanfaatkan secara maksimal... saya mengamati betul beberapa buku baru yang diunggah (Buku Sekolah Elektronik, BSE) terutama pelajaran matematika, ya sama saja, hanya ada banyak ulasana kata kunci, pengingat, dan hal-hal agar buku terlihat penuh saja. Katanya tak mau rumit, malah kurikulum gonta-ganti gak jelas arahnya, bagaimana peneliti pendidikan dapat mengetahui perkembangan secara nyata kalau begitu ?. Intinya, suka banget merepotkan guru dan siswa.

Tepuk jidat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun