[caption id="attachment_361553" align="aligncenter" width="450" caption="Alhamdulillah, Inilah Hasil Jerih Payah Kami, Para Petugas Pencari Data, sumber foto : FP BPS"]
Petugas BPS dalam melaksanakan pendataan terus mengalami kendala di lapangan akibat akses jalan yang sulit untuk dijangkau. Tidak hanya itu, banyak masyarakat yang menjadi responden sertamerta menolak kunjungan petugas. Inilah jerih payah dalam mendapatkan data untuk pembangunan NKRI. Pengalaman penulis pun demikian, ketika berkesempatan menjadi petugas pengawas lapangan Sensus Penduduk (SP) 2010 tahun lalu, memang kendala seperti itu tak dapat terelakkan sebab pendataan BPS terus berlanjut. Beberapa masyarakat ada yang mengatakan, "datang lagi, datang lagi, mau apa lagi sih, Pak?" atau "Pak, saya mau diberi bantuan apa, Pak oleh Presiden?", hingga "Pak, Bapak Petugas PLN, ya?." Penulis juga mendapatkan pengalaman nyata, betapa susahnya mendapatkan data, apalagi data yang menyangkut program bantuan, seperti BLT dan sejenisnya.
Kendala BPS tidak sampai disitu saja, teman-teman penulis di bagian Integrated Bussiness Register(IBR), juga menghadapi permasalahan pelik dalam mendata dan melakukan profiling terkait data rancangan pelaksanaan Sensus Ekonomi (SE) pada 2016 nanti. Banyak perusahaan, dari mulai yang bentuknya Grup perusahaan hingga perusahaan mandiri pun susah untuk dimintai datanya. Inilah tantangan BPS saat ini dan untuk kedepannya, perusahaan juga beranggapan sama dengan masyarakat. Mereka berpikir kaku tentang data yang dikumpulkan oleh BPS lantaran tidak adanya feed back atau semacam manfaat kepada mereka dengan data yang nantinya dihasilkan.
Perlu diketahui oleh masyarakat dan perusahaan, kita cuil saja misalnya data inflasi. Data inflasi itu sangat dinantikan oleh semua perusahaan, termasuk para pelaku saham untuk melakukan kebijakan. Data inflasi sangat bermanfaat sebagai bahan penentu kebijakan upah tenaga kerja dan estimasi (perkiraan) Indeks Harga Saham (ISH). Tidak dapat dipungkiri untuk kebermanfaatan data inflasi bagi masyarakat dan pemerintah. Inflasi adalah angka warning dalam menentukan apakah layak pemerintah menaikkan harga BBM?, apakah pantas pemerintah menaikkan harga LPG 12 kg?, serta kepantasan harga jual semua komoditi masyarakat, "inflasi tinggi, masak saya tidak menaikkan harga dagangan saya?", misalnya. Sementara, dalam memberikan data terkait inflasi yang tercakup dalam Survei Biaya Hidup (SBH), baik masyarakat maupun perusahaan masih saja kurang bersemangat, kurang jujur, dan kurang ikhlas. Padahal, sekali lagi, ini demi pembangunan NKRI. Jika data yang diberikan masyarakat tidak jujur, tidak apa adanya, maka data yang terhimpun di BPS pun akan dipertanyaan kualitasnya. Selain itu, jika data yang terkumpul salah, maka kebijakan yang diambil oleh pemerintah pun salah. Contohnya, data BPS sebab keterangan yang kurang lengkap mengatakan, di daerah A tidak terdapat sekolah, kemudian pemerintah dengan jajarannya memberikan kebijakan, "segera bangun gedung sekolah di daerah A !." Namun, karena ketidaklengkapan data, pembangunan sekolah di daerah tersebut kurang tepat karena berbagai kemungkinan, misal akses terhadap rumah masyarakat jauh, atau daerah A adalah daerah gunung , atau daerah A adalah jurang, misalkan. Nah, inilah mengapa BPS dengan gencarnya melakukan sosialisasi mengenai perlunya dan wajibnya seluruh elemen bangsa Indonesia ini mengerti, memahami, dan sadar dengan data statistik. Melalui apa ?, salah satunya adalah dengan membuat Hari Statistik Nasional (HSN).
Data Mencerdaskan Bangsa. Tanpa peran aktif dan keikutsertaan masyarakat dalam membangun data, maka Data Menghancurkan Bangsa, atau Data Menghancurkan Pembangunan Negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H