Mohon tunggu...
Joko Ade Nursiyono
Joko Ade Nursiyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 34 Buku

Tetap Kosongkan Isi Gelas

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menjaga Jati Diri Indonesia Melalui Seni Budaya

1 Oktober 2014   17:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:48 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagiku, Indonesia adalah darah dagingku. Aku akan merasa sakit jasmani hingga batinku, ketika negera ini diusik oleh gangguan-gangguan asing. Apalagi saat ini, globalisasi menuntut negara ini mengikuti arus modernisasi yang sebenarnya bagiku itu adalah rambu-rambu bahaya besar bagi negara ini. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hendaknya mulai sadar bahwa akan ada serangan-serangan yang berpotensi mengobrak-abrik kedaulatan, tatanan, serta keajegan sosial yang telah lama tumbuh dan berkembang di bumi Nusantara.

Mengamati perkembangan zaman yang semakin terpengaruh oleh kebudayaan barat (baca : asing), bagiku merupakan gejala musibah bagi negara ini bila masyarakat penghuninya sama sekali tidak memiliki rasa peduli. Coba kita renungkan sejenak video singkat berikut yang berjudul "Aku Peduli", ini justru bagiku, ini adalah masalah waktu saja untuk mengubahnya, hanya masalah syarat bahwa aku harus peduli kepada negara ini. Yang menjadi fokusku sampai saat ini adalah nasib seni dan budaya negara ini. Sering ku melihat tayangan entah di televisi entah di media maya hingga media cetak, orang asing sangat mahir memainkan peralatan musik semisal Gamelan yang berasal dari Jawa. Mereka begitu antusias dalam mempelajari instrumen Gamelan, malah hampir sebagian besar dari mereka sudah mampu menjadi seorang sinden (penyanyi dalam pergelaran wayang kulit). Di satu sisi, aku melihatnya memang bagus, tetapi di sudut hati yang dalam, aku mengamati banyak generasi muda Indonesia yang sudah menjauhi kesenian tradisional atau kesenian konvensional. Banyaknya tuntutan zaman membuat kesenian yang sifatnya khas dan asli berubah menjadi kesenian tradisional yang tercampur atau yang ngetrend disebut kesenian kontemporer. Selain itu, ada hal yang lebih parah lagi, banyak remaja hingga orang dewasa yang sekarang sudah meninggalkan kultur-kultur yang memegang erat budaya daerah Indonesia. Melihat dan mengamati kondisi inilah, maka sejak aku duduk dan mengenyam bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), aku mulai merajut usaha untuk mempertahankan kesenian tradisional daerah, khususnya kesenian tradisional tempatku lahir, Jawa Timur.

Pada saat SMP, aku secara senggaja menamai setiap bukuku yang kumiliki dengan nama berhuruf hanacaraka (huruf Jawa kuno). Lantas, teman-temanku malah mengejek hal tersebut dengan menyatakan bahwa aku sangat ketinggalan zaman. Aku hanya tersenyum melihat presumsi tersebut. Tetapi, aku tetap konsisten dengan tekadku untuk terus melestarikan apa yang diajarkan oleh kakekku. Aku memahami betul Pasal 32 UUD 1945 tentang budaya daerah yang merupakan cikal bakal dan diakui sebagai budaya nasional bangsa Indonesia. Suatu ketika saat SMP, tak sengaja kutemukan sebuah buku tentang prinsip-prinsip orang Jepang yang secara penuh dan konsisten, mereka memiliki prinsip hidup kaizen dan hansei. Kaizen adalah prinsip untuk memfilter setiap segala sesuatu yang masuk pada kehidupan dengan mengadopsi yang baik dan membuang atau mengeliminasi yang buruk. Sedangkan, hanseiadalah prinsip hidup untuk terus melakukan perbaikan tiada henti. Meskipun aku lahir dan sangat membela NKRI, tetapi aku sangat perlu menganut kedua prinsip yang kutemukan dalam buku tersebut. Dengan mengambil setiap pelajaran dan pengajaran yang ada, tekad bulatku untuk terus melestarikan seni dan budaya Indonesia berlanjut sampai masuk dan mengenyam bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Di SMA, aku mulai ikut aktif dan turut serta dalam komunitas Karawitan. Karawitan iya, melestarikan aksara Jawa juga iya.

Lagi dan lagi, beberapa temanku pun menyatakan bahwa aku ini orang aneh hingga aku ini orang yang ketinggalan zaman. Saat itu yang notabene sudah mulai merambahnya orang memakai HandPhone (HP), sementara aku masih berkutat  mempelajari mahir memainkan Demung dan Peking Gamelan.

[caption id="attachment_362961" align="aligncenter" width="397" caption="Demung Gamelan Jawa, sumber foto : gong.web.id"][/caption]

[caption id="attachment_362962" align="aligncenter" width="345" caption="Peking Gamelan Jawa, sumber foto : yern-yernie.blogspot.com"]

14121327082134115485
14121327082134115485
[/caption]

Meskipun banyak teman-teman yang tak sejalan dengan prinsipku terhadap nasib seni dan budaya Jawa, tetapi aku yakin aku tak sendiri, di luar di tempat yang lain, kurasa ada banyak teman-teman generasi muda yang masih setia melestarikan Gamelan.

Guruku pun saat memberikan tugas juga bertanya, "ini bukunya siapa ? kok namanya dengan aksara Jawa begini?". "Oh, itu miliknya Joko, Pak !", salah seorang teman sekelas menjelaskannya kepada guruku. Dari kejadian saat itu pun aku hanya mengelus dada, orang Indonesia ini punya banyak dan beragam budaya, tetapi tidak bisa budayanya sendiri. Generasi bangsa ini memperlajari dengan getol budaya asing, tetapi meninggalkan jati dirinya sebagai bangsa yang bersurga seni budaya. Kulupakan hal itu semua dengan secara konsisten dan dengan komitmen yang tinggi, aku akan terus melestarikan seni budaya yang kumiliki.

Berlanjut ke Perguruan Tinggi (PT), secara otodidak kumulai belajar menari tarian tradisional Jawa, seperti tari Kuda Lumping, tari Remo, dan tari Reyog Ponorogo. Syukurlah, ternyata usahaku tak sia-sia saat itu. Pada setiap ajang kompetisi seni budaya yang diadakan oleh kampus, aku dijadikan sebagai pelatih bagi teman-temanku. Menjadi seorang pelatih seni tarian tradisional saat itu memang melelahkan, tetapi inilah tekadku agar seni tarian tradisional lebih terpatri dalam sanubari teman-temanku. Dimulai dengan melatih teman-teman tari Remo yang merupakan ikon seni Jawa Timur. Sekitar kurang lebih sebulan lamanya, secara berkala teman-teman kulatih pada waktu-waktu tidak ada jadwal kuliah. Mereka cukup antusias, meskipun ada saja saat-saat mereka kehilangan semangat untuk mempelajari tari Remo. Di akhir, jerih payah itu memanglah menampakkan hasil, kami berhasil mengantar kesenian tari Remo menuju puncak dan menyisihkan kesenian yang lainnya.

[caption id="attachment_362963" align="aligncenter" width="400" caption="Foto Saat Setelah Performance Tari Remo, Jawa Timur, sumber foto : Dok. Pribadi"]

14121327581840246078
14121327581840246078
[/caption]

Pada semester berikutnya, sebenarnya diriku sudah saatnya tak ikut andil dan berkutat dalam kegiatan teman-temanku. Tetapi, untuk kedua kalinya, diriku ditunjuk kembali sebagai pelatih tari tradisional. Kali ini teman-teman membawakan tari Reyog Ponorogo untuk berkompetisi culture day yang diadakan oleh kampus. Seni tari Reyog Ponorogo memang terbilang susah bagiku, apalagi aku sendiri bukan asli orang Ponorogo, tetapi aku merasa ikut memilikinya sehingga secara otodidak kupelajari gaya tarian tersebut sekitar satu bulan lebih. Berguru pada seorang penari dadak merak di daerah Bogor akhirnya aku mampu membela kesenian Reyog Ponorogo sebagai seni identitas asli Indonesia dalam kancah negara-negara di dunia. Jujur, setiap kali mendengar Reyog Ponorogo diaku oleh negara lain hatiku merasa sakit, ingin sekali mempelajarinya. Dan akhirnya, aku bisa, aku bisa membawa sekaligus melestarikan seni budaya tari tradisional tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun