Tidak semua yang setuju kebijakan pemerintah adalah cebong dan tidak semua kritikus pemerintah adalah kadrun. Kalimat tersebut setidaknya menjadi pedoman masyarakat Indonesia bahwa akal sehat dan jiwa yang bijaksana adalah bagaimana melihat sebuah persoalan secara objektif. Mengurangi sikap fanatisme politik. Paling tidak menjadi manusia yang berdikari dengan menerima dan menolak kedua tuduhan.
Aktivitas mengkritisi pemerintah tentu lebih menarik untuk dijadikan tajuk berita di media massa. Kekuasaan pemerintah mempunyai sifat absolut yang harus diikuti dengan konsistensi kritik dari oposisi dan pengamat kebijakan. Di dalam politik, kritik sifatnya permanen. Tujuan mengkritisi kebijakan agar pemerintah bisa mempertimbangkan keputusan terbaik, meskipun tanpa diimbangi dengan solusi.
Jadi pengkritik pun harus punya kecerdasan dan kebijaksanaan agar tidak terjebak pada narasi hoaks dan caci maki yang tidak berdasarkan fakta. Diperlukan kritik yang konstruktif dengan tetap mempertimbangkan batasan hukum negara. Pemerintah (yang dikritik) pun harus berkenan mendengar, bukan menghindar. Apalagi sampai melakukan tindak pembungkaman pendapat (suara) yang seharusnya menjadi hak warga negara yang dilindungi konstitusi.
Kritik juga harus disandarkan etika menyampaikan pendapat di muka umum. Sehingga berbagai bentuk kritik bisa dipertanggungjawabkan. Kebebasan berpendapat (kritik) dan tanggung jawab adalah kondisi dasar pengambilan keputusan dan tindakan yang etis. Kritik adalah reaksi dari aksi yang dilakukan penguasa. Jika kebijakan yang baik adalah tanggung jawabnya, jika dianggap buruk patut untuk dikritisi.
Ketika kebabasan dijadikan alasan berekspresi di negara demokrasi, kritik tak beretika sering muncul di berbagai platform digital dan ruang publik lainnya. Menyampaikan aspirasi dengan lancang dan jauh dari nilai luhur budaya bangsa. Ketidakterimaan terhadap kekalahan, kekecewaan pada keadilan, dan kesewenang-wenang memutuskan kebijakan adalah beberapa faktor kritik menjadi kebiasaan di masyarakat.
Kritik mungkin akan menurun drastis ketika kesejahteraan rakyat, ketimpangan sosial, dan keadilan di hadapan hukum bisa diselesaikan pemerintah. Belum lagi ekspektasi terhadap janji yang diingkari menambah keraguan rakyat terhadap integritas penguasa. Kegagalan meyakinkan masyarakat tentang kebijakan yang menguntungkan semua pihak menjadi potensi kritik terus berkembang bukan hanya dari pihak opisisi, melainkan masyarakat secara luas.
Kritikan Dungu
Ada beberapa kritik yang tidak sesuai konteks. Ketika banyak orang mulai melakukan kritik konstruktif, beberapa yang lainnya melakukan kritikan dungu atau malah terkesan menghina individu. Sehingga kritikan tidak lagi menyasar program, tapi lebih kepada faktor kebencian yang mengakar. Kritik tidak dilandaskan pada literatur yang memadai dan tidak juga menguasai bidang yang dikritisinya. Cenderung ngawur.
Kedunguan kritukus berikutnya adalah memaksakan kehendak keinginan secara mutlak. Tidak melihat berbagai sudut pandang baik dan buruk. Memaklumi risiko setiap kebijakan yang diambil. Bahkan ada juga yang memaksakan pengubahan sistem kepemrintahan dan landasan bernegara sesuai agama tertentu, sedangkan Indonesia merupakan negara plural yang menampung beberapa agama dan keyakinan.
Saat ini, hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menasbihkan diri sebagai penantang koalisi kabinet Indonesia Maju. Selebihnya menjadi partai sekutu pemerintahan dan lainnya menjadi sedikit idealis dengan mendeklarasikan sebagai partai moderat.
Harapan Jokowi mengenai konsep demokrasi gotong royong yang tidak mengenal oposisi perlu mendapat kritikan. Oposisi masih sangat penting dibutuhkan menghindari kekuasaan yang egaliter, diktator, dan otoriter. Oposisi diperlukan dalam demokrasi yang memerlukan fungsi check and balances. Kurangnya koalisi opisisi menurunkan kualitas demokrasi yang sehat. Politik hanya akan dimaknai sebagai kendaraan bagi-bagi kekuasaan.
Namun kehadiran oposisi bukan lantas dijadikan ajang pencitraan mengatasnamakan rakyat. Keberanian PKS tidak terlibat iming-iming koalisi pemerintah tidak lantas menjadi keuntungan pemilu selanjutnya. Kritikus yang cerdas tidak akan memilih partai pendukung dan oposisi tanpa pertimbangan konsekuensi kebijakan. Bahkan ada beberapa kritik pertai oposisi yang terkesan ngawur sebab merasa berada di pihak yang wajib mengkritisi setiap kebijakan.
Berani menjadi oposisi harus cerdas dan bijak menganalisis setiap kebijakan. Tidak sembrono mengkritik tanpa data dan fakta yang jelas. Apalagi agama yang dijadikan narasi berpolitik di negara yang plural. Citra partai dinilai dari kualitas kritik tokoh politiknya. Salah metode akan menjatuhkan kredibilitas partai. Kritikan yang cerdas dan bertetika akan didengarkan baik oleh penguasa dan masyarakat secara umum, kritikan dungu hanya akan menjadi beban pemerintah dan rakyat yang dijadikan tumbal pencitraan.
Era teknologi dan informasi seharusnya lebih gampang menemukan kritikus yang berkualitas daripada kritikus dungu yang hanya bermodal cacian dan umpatan tanpa pemahaman yang cukup. Rendah literasi adalah faktor utama kedunguan kritikus, kebencian politik adalah ciri kedunguan oposisi. Di negara demokrasi, kritikan juga berlaku bagi tukang kritik dan kelompok oposisi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H