Belum lagi kalau sudah punya tanggungan (anak). Tambah biaya makan, uang jajan, pakaian, mainan, dan pendidikan. Meskipun sering dinasehati kalau menikah membuka pintu rezeki, logika saya masih menolak bahwa menikah pasti akan mengurangi rezeki. Lhawong pendapatan utama dibagikan keluarga. Menikah yang semula bercita-cita ingin bahagia dunya wal akhirah bisa menjadi sumber bencana dan penderitaan.
Padahal risiko kalau tidak bahagia adalah perceraian. Sedangkan pascaperceraian akan mendatangkan masalah baru seperti omongan tetangga, status sosial, dan sindiran sarkasme dari teman-teman. Belum lagi soal pembagian harta gono-gini. Sudah miskin, dibagi lagi. Ah, menikah kok sebegitu mencekamnya.
Lagian apa sih yang enak dari menikah?! Paling cuma ketika pas peraduan alat kelamin. Selebihnya malah mengurangi waktu bermain dengan teman, healing-healing kemana suka, dan pemborosan dana rias istri. Untung menikah dijadikan sandaran beragama. Paling itu alasan saya nanti menikah, selain tekanan orang tua dan kerabat.
Semoga tahun ini bisa segera kawin. Sudah ngeden soalnya. Usia saya saat ini seharusnya sudah punya anak. Semakin tua, semakin susah menarget usia kelulusan pendidikan anak dan jatah pensiun menikmati masa tua. Inginnya saya pensiun, anak mulai bekerja dan menjadi tulang punggung keluarga. Semakin tua, juga disadari semakin menipiskan link pertemanan untuk mencari jodoh. Teman sekolah dan kuliah juga sudah pada kawin. Paling logis ya berharap dari teman kerja meskipun dengan risiko dicie-cie seluruh kantor.
Lk:
Mbok'e... aku njaluk dikawinke
Pr:
Karo sopo to le...
Lk:
Sing penting ono nyawane
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI