"Kapan mau kawin? Kamu itu sudah hampir kepala tiga."
Kapanpun dan di manapun, pertanyaan seputar perkawinan cukup bising di telinga saya. Apalagi punya latar belakang budaya Jawa yang suka dibandingkan dengan tetangga, teman seangkatan, dan sanak-saudara. Mayoritas lelaki kawin usia 25 - 27 tahun dan wanitanya 19 - 23 tahun. Nikah dini sudah menjadi tren di masyarakat Jawa pedesaan sebelum bermunculan doktrin agama ulama-ulama media sosial.
Predikat joko tuo (perjaka tua) sudah disandingkan. Sesekali menyindir uban yang mulai menular dari rambut satu ke rambut lainnya. Bahkan ada prasangka negatif dari teman sejawat, "Jangan-jangan homo. Tidak suka perempuan." Saking uniknya perjalanan hidup saya yang tidak pernah sama sekali merasakan pacaran. Bukan karena sok suci, emang sadar diri kurang laku di pasar wanita-wanita modern abad ini.
Namun kegelisahan saya bukan hanya seputar tips dan trik mendapatkan wanita, lebih kepada bagaimana mempersiapkan perkawinan yang ideal. Pra dan pasca kawin. Kadang saya heran dengan teman-teman yang cepat nikah, padahal belum punya pekerjaan mapan. Tapi bisa mengadakan resepsi yang cukup mewah dan bulan madu ke Yogyakarta naik KRL dari Solo.
Sedangkan saya bertahun-tahun mengabdi menjadi buruh perusahaan ternama di bidang penerbitan masih kesulitan mengumpulkan dana resepsi yang katanya mencapai 50 juta. Itu untuk resepsi yang ditunaikan di gedung. Kalau di rumah malah bisa lebih mahal lagi sebab ada jagongan seminggu penuh.Sebab resepsi dalam budaya Jawa yang sarat pamer kemewahan itu hukumnya fardhu 'ain.Â
Bagaimana bisa dapat duit 50 juta sekian, sedangkan gaji masih undha-undhi dengan UMR?! Ngepet? Atau main togel?
Kemudian teman saya menenangkan dengan mengatakan bahwa biaya resepsi itu tanggungan orang tua. Ya kalau orang tuanya mampu, kalau orang tua hanya sebagai buruh dan petani?! Setidaknya ada celengan dana untuk minimal separo dana resepsi ditanggung sendiri. Sudah dewasa kok masih ngemis uang (dana resepsi) ke orang tua. Memalukan.
Itu mungkin yang menghambat jatah pernikahanku yang seharusnya bisa dijadwalkan beberapa tahun yang lalu. Belum lagi permasalahan klasik kawin Jawa yang sarat dengan weton, jilu (lusan), arah rumah, dan segala tetek bengeknya. Menikah perlu restu adat, bukan hanya kecukupan tabungan resepsi. Percuma ketemu yang dianggap jodoh. Weton tak cocok, jodoh hanya ilusi belaka.
Setelah dana resepsi cukup dan weton cocok, kegamangan berikutnya adalah penentukan tempat tinggal. Pilih di rumah orang tua, mertua, kontrakan, atau angsur KPR seumur hidup. Ini perlu didiskusikan secara detail sebab banyak masalah keluarga bersumber dari campur tangan orang tua. Bayangkan kalau harus tinggal seatap dengan orang tua, bagaimana susahnya menikmati malam pertama dan malam-malam selanjutnya. Paling pakai trik mengeraskan suara TV.
Kecemasan sebelum kawin sudah menggerayangi logika berumah tangga yang sakinah mawadah warohmah. Apalagi kalau sudah kawin harus menyamakan persepsi, tujuan, dan penerusan ideologi kepada anak. Pembagian hak dan kewajiban juga menjadi faktor pemicu kertakan hubungan. Sama-sama egois. Sebelum menikah biasa tidur lampu dimatikan, sedangkan istri selalu terang. Setelah tidur seranjang menjadi alasan berdebat, KDRT, dan cerai.