Perang Gagasan
Media sosial menjadi cerminan dari segelintir nahdliyin yang terjebak pada narasi politik praktis. Menembus batas-batas toleransi yang sebelumnya disepakati. Perang identitas atau label agama tidak pernah menunjukan cita-cita agama yang sering digembar-gemborkan: rahmatan lil'alamin. Palabelan intoleran sebagai sarana untuk menyerang atau memojokan yang lain juga merupakan sikap yang intoleran.
Jika Nahdlatul Ulama dianggap dan menganggap diri sebagai entitas kelompok yang besar, seharusnya yang menjadi "lawannya" dikategorikan sebagai minoritas. Jika mengusung citra Gus Dur sebagai tonggak pluralisme modern, mereka (kaum minoritas) harusnya dilindungi, bukan dimusuhi.
Ketika pemuka NU menyerukan untuk perang secara digital, kapasitas keilmuan para santri lulusan pesantren dan pendidikan formal mulai unjuk gigi. Argumentasi ilmiah dilandasi rujukan kitab begitu mengemuka, seakan membuka cakrawala khazanah keilmuan yang jarang ditampilkan di beranda media sosial. Kiai, Gus, Santri turun gunung berdebat seputar akidah dan ikhtilafiyah. Citra NU sebagai wasit berubah menjadi para pemain yang saling jegal di lapangan.
Kadang disisipi sikap kejumawaan pengetahuan dan pengalaman pesantren yang menjadi kekuatan nyata daripada mereka yang hanya belajar agama melalui media daring. Perang gagasan seputar kepemimpinan, politik, hingga tata negara menjadi arena olok-olokan untuk menarik simpatisan dari muslim konvensional. Perpecahan seakan menjadi keniscayaan meskipun sering dibungkus dengan slogan ukhuwah islamiyah.
Media-media daring berlomba mencari jamaah baru dengan narasi-narasi saling menjatuhkan lawan. Alih-alih ikut mendamaikan, NU malah terjebak pada pertempuran saling caci maki dan menghakimi sesama muslim lainnya. Bahkan sikap tabayun yang selalu menjadi ciri khas NU juga sudah tidak begitu lagi diindahkan, seperti kasus Sugi Nur. Sikap fanatik buta yang pada akhirnya menghilangkan nilai-nilai persatuan dalam kemajemukan.
Serba Salah
Saya sebagai nahdliyin abangan, menilai sikap intoleran memang perlu untuk diingatkan agar tidak terjadi konflik horizontal sesama muslim. Meskipun batasan toleransi berbeda satu sama lain, tapi prinsip adil harus ditegakkan demi terwujudnya perdamaian dalam beragama dan bernegara. Adil berarti bisa menjadi pengayom, bukan provokator.
Keterikatan terhadap politik membuat sebagian nahdliyin merasa serba salah dalam menentukan arah idealisme berorganisasi. Apalagi ketika PBNU melakukan kritik tajam terhadap kebijakan yang dianggap tidak memihak rakyat. Meskipun di sisi lain wakil presiden (Dr. KH. Ma'ruf Amin) merupakan mantan Rais Aam PBNU. Nahdliyin tampak terpecah menjadi dua kubu; mereka yang fanatik pada kebijakan pemerintah dan mereka yang menilai pemerintah blunder dalam pengambilan kebijakan.
Dalam perdebatan konsep agama, nahdliyin juga terlibat konfrontasi sesama nahdliyin. Kasus FPI adalah salah satunya. Mereka yang antipati pada FPI karena kesan yang diterima adalah organisasi brutal dan anarkis. Di sisi lain, nahdliyin membela dengan mencoba merangkul FPI yang dianggap masih dalam satu gerbang mazhab dan dihuni banyak habaib yang tentunya ditakzimi nahdliyin struktural maupun kultural.
Kebesaran nama dan anggota NU seharusnya bisa menjadi pelecut untuk konsisten memegang prinsip inklusivisme dalam beragama. Meskipun sebagian ada yang berteriak Islam inklunsif tapi aktualisasinya adalah sikap eksklusif. Merawat kebhinekaan adalah dengan menghargai setiap perbedaan pendapat tanpa melihat latar belakang politik, suku, dan sanad seseorang. Kasus Ustaz Abdul Shomad, Muhammad Ainun Najib (Cak Nun), Buya Yahya, KH. Idrus Ramli, Habib Abubakar Asegaf adalah sebagian dari sikap dilematis nahdliyin merenungi kembali prinsip dakwahnya. Lebih membela mazhab politik atau mazhab akidah?!