Tokoh masyarakat yang mempunyai pengaruh besar karena prestasi dan keluhurannya tersisih karena ketiadaan partai pengusung dan kepentok "dana politik" yang tidak semuanya bisa dijangkau. Figur politisi kembali dipersempit oleh partai-partai yang mempunyai nama besar sesuai alokasi jumlah kursi di senayan. Jadi wakil rakyat bukan orang-orang terpilih karena kecakapannya memajukan daerah, tapi lebih kepada tingkat popularitas dan kekuatan dana yang kemudian diamini oleh partai politik pengusung.
Menganalisis jumlah anggaran biaya kampanye, cukup dimaklumi jika rakyat berpikir negatif tentang kinerja DPR RI yang lebih mementingkan balik modal (syukur bisa untung) daripada mengalokasikan dana untuk kunjungan kerja ke daerah-daerah terpencil. Citra DPR dianggap bukan lagi mewakili rakyat, namun lebih kepada sebuah lembaga formal yang diciptakan untuk mendikte opini masyarakat.
Demikian yang sering dikritisi para seniman dan tokoh masyarakat. Iwan Fals yang menyatakan bahwa wakil rakyat hanya segerombolan paduan suara yang hanya bisa bilang setuju. Senada dengan Gus Dur yang menyatakan bahwa DPR tidak lebih baik dari anak TK yang masih suci, cerdas, dan kreatif.
Satu Gerbang Pemerintah
2019 adalah tahunnya PDIP. Menang telak di pemilu, pengukuhan kembali Jokowi sebagai presiden, dan Puan Maharani sebagai ketua DPR RI. Seakan menjadi magnet, partai-partai oposan juga menempel ke kubu petahana. Hanya PKS yang terang-terangan bersebrangan dengan pemerintah, kemudian demokrat yang memilih menjadi bunglon dalam menentukan sikap politik.
Terpilihnya Puan Maharani sebagai ketua DPR RI menjadi kegundahan tersendiri bagi rakyat. Sebagai anak Megawati yang notabene pendiri dan pemimpin PDIP, presiden dan DPR RI seolah berada dalam satu gerbang kereta, dan PDIP sebagai masinisnya. Padahal diadakannya lembaga legislatif untuk mengontrol kebijakan eksekutif, sehingga tidak ada kesan otoriter dalam menentukan nasib bangsa. Ketika jumlah kursi oposisi hanya segelintir, maka tidak akan mampu menahan laju deras kebijakan-kebijakan yang pro pemerintah.
Ketika dirasa ada penyalahgunaan wewenang, maka pertempuran bukan lagi terjadi di forum koalisi dengan oposisi, melainkan pemerintah (termasuk DPR RI) dengan rakyat. Jika mengacu pada mandat UUD '45, seharusnya rakyat dikembalikan ke tempat yang semestinya. Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar (pasal 1 ayat 2). Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Bukan dilakukan dari DPR, oleh DPR, dan untuk DPR.
Jika pemilihan umum anggota DPR dirasa tidak mewakili rakyat, apa perlu suatu saat cukup menggunakan sistem daring saja untuk menghemat anggaran negara?! Malah lebih bermanfaat digunakan untuk menggaji pengangguran seperti kebijakan di negara Finlandia, Irlandia, Arab Saudi, dan Selandia Baru.
Joko Yuliyanto
Penggagas Komunitas Seniman NU. Penulis buku dan naskah drama. Aktif menulis opini di media daring.
Bisa disapa lewat IG @joko_yuliyanto
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI