Semakin banyak jenis manusia yang ditemui, maka semakin banyak pula pertanyaan-pertanyaan aneh seputar agama. Sejak kecil saya sudah aktif nyantri di langgar dusun. Diasuh langsung oleh seorang kiai dari tanah Glagah Wangi. Karena beliau jebolan pondok pesantren, maka kajian kami pun seputar kitab kuning dan kitab pegon. Masa kecilku direnggut dengan siraman-siraman rohani bekal akherat.
Pas kuliah, saya gantian mengajar. Dulu hanya ngaji dengan sarana-prasarana seadanya, pas saya ngajar sudah mulai formal menjadi madrasah/ semi-pesantren. Pelajaran pun masih seputar fikih, tarikh, tajwid, akhlak, tauhid, dan hafalan Alquran. Kebetulan saya bagian fikih. Isinya? Ya wudu, salat, puasa, zakat, haji.....
tapi kok ngerasa ada yang kurang? Kalau kajian fikih membahas seputar rukun Islam, kenapa tidak dimulai dengan pembahasan fikih syahadat?! Nahloh!!!!
Dampak sering ikut Maiyah ya begini. Selalu penasaran tentang segala hal. Men-tadabburi (istilah ngetrend arek maiyah) sampai berbuah ilmu dan kebaikan. Percuma juga kalau khatam niat wudu sampai doa mencium hajar aswad tapi tidak paham syahadat. Kalau rukun Islam dimodel herarki, seharusnya core of the core-nya itu ya syahadat. Bahkan nih ya, pernah dengar bahwa siapapun yang mengucap syahadat dijamin masuk surga lho.
Saksi Palsu
Kita mulai sedikit merenungi, menghayati, dan memahami syahadat. Kalau memang kalimat itu dijadikan syarat mutlak disebut muslim, maka sebagai muslim yang sudah baligh, harusnya sudah tidak ada keraguan menjelaskan panjang lebar tentang apa yang diyakininya.
"Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah"
Bersaksi? Yakin sudah bersaksi?
Secara umum definisi saksi telah tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) yang telah diratifikasi menjadi Undang-Undang No 8 Tahun 1981 dalam Pasal 1 angka 26 KUHAP yang menyatakan bahwa saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.
Sudah pernah mendengar firman Allah? Sudah pernah melihat Allah? Sudah pernah mengalami menjadi Allah? Eh,
Sepertinya pernyataan bahwa syahadat jaminan surga ada benarnya. Setelah sedikit merenungi diksi saksi, rontok sudah "kemuslimanku" selama ini.
Jika syahadat adalah syarat utama menuju surga, maka neraka adalah tempat yang layak bagiku: yang tak sungguh-sungguh bersyahadat kepada Allah. Kalau di pengadilan negara mungkin bisa pura-pura jadi saksi palsu, di hadapan Allah masak masih mau memanipulasi peradilan?
Jadi sebelum terlalu ganas teriak-teriak membela Tuhan dan agama, hendaklah mengoreksi diri, sudahkah kita bersayahadat? Sudahkah kita muslim? Atau sebenarnya kita masih perjalanan panjang untuk menegaskan kalimat "Tunjukanlah aku jalan yang lurus" di dalam salat kita?!
Muhammad Bukan Rasul Kita?
Ketika banyak yang meyakini bahwa Muhammad Saw. adalah rasul mereka, maka saya mencoba membalik logika dengan pernyataan sederhana. Seperti yang kita pahami selama ini dalam lirik adan Maghrib di televisi swasta, bait ketiga yang berbunyi :
"Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah"
Rasulullah = utusan Allah. Rasul berarti utusan. Jika Nabi Muhammad adalah rasulmu, lalu siapa kamu berani-beraninya mengutus manusia paling sempurna di alam semesta ini? Apakah kamu Tuhan laiknya Fir'aun yang bebas mengutus manusia seenak jidatnya? Jadi silakan direnungi kembali, Nabi Muhammad itu rasul kita bukan sih?
Eits, jangan buru-buru menyimpulkan. Kalau agak mau sedikit belajar tasawuf atau mendalami sisi terdalam Syekh Lemah Abang atau Siti Jenar, maka kita akan sedikit mendapatkan pencerahan. Tapi sebelumnya harus dilepaskan dulu informasi-informasi buram seputar Siti Jenar yang sebenarnya banyak diilhami dari Al Hallaj.
Intinya adalah konsep meniadakan diri. Bahwa semua yang ada di alam semesta ini adalah pengejawantahan dari zat Allah Swt. Dari jutaan asmaulhusna dan segala peristiwa yang sebenarnya adalah cerminan dari Allah itu sendiri. Nur Allah bersemanyam dalam diri kita, ada yang gelap tertutup oleh jiwa dan raga. Ada yang bersinar terang karena sudah beriman dan bertakwa secara utuh.
Jika jiwa kita masih diliputi sifat pendendam, berbohong, sombong, kikir, ghibah, iri dengki, dan sebagainya, maka jangan pernah berharap bisa menyaksikan Allah. Sebaliknya, jika hati kita bening, pantaslah kita menyebut bahwa Muhammad adalah Rasul kita.
Duh, bahas fikih syahadat itu memang bukan sebatas hafal rukun, sunah, dan yang membatalkan saja......
Joko Yuliyanto
Penulis Opini Media Daring. Penulis Buku dan Naskah Teater.