Kualitas manusia berkurang dari masa ke masa. Dari segi pengetahuan dan keingintahuan. Dari bertatakrama tentang sopan santun dan menyadari kemampuan diri.Â
Zaman dahulu kita diajarkan tentang kerendahan hati tentang ilmu padi semakin tua semakin merunduk. Namun zaman sudah berbalik dimana orang buru-buru ingin berada di depan dengan ilmu yang seadanya. Masyarakat muslim dulu waktu salat jamaah pada kompak mundur ke belakang (makmum) karena menyadari ilmu agamanya di bawah yang lain.Â
Namun sekarang siap mengajukan diri mengucap takbir untuk mengimami jamaah lain. Kerendahan hati manusia menurun karena kepercayaan diri yang terlanjur menguasai nafsu manusia.
Menurunnya kualitas hidup manusia dipengaruhi berbagai faktor. Tentang kehormatan yang sudah digadaikan. Pengetahuan yang distratakan menjadi kesekian seiring perkembangan teknologi yang dirasa mampu menutup apapun yang menjadi kurangnya ilmu pengetahuan.Â
Mendebatkan segala sesuatu tanpa landasan dan dasar. Menggunjing tanpa fakta karena diselimuti nafsu. Dan iri terhadap apa yang diraih sekelilingnya yang dirasa menurunkan kualitas diri terhadap yang lain.
Kuantitas manusia yang semain membludak di setiap daerah tidak diikuti dengan kualitas yang seharusnya semakin baik dari manusia itu sendiri. Kualitas hidup dapat diukur dengan berbagai kriteria, tak melulu tentang pengetahuan namun juga ada akhlak terhadap sesama, lingkungan dan agamanya.Â
Pembelajaran tersebut semakin menghilang seiring perkembangan teknologi yang memaksa manusia menikmati hari dengan segala kebimbangan dan keributan antar sesama di media sosial atau internet.
Kunci Surga
Dalam pemberitaan akhir ini lebih meprihatinkan. Dimana antar kelompok (aliran) agama saling membenarkan diri. "kamu menjadi jamaahku saja, berdasarkan akidahku, insyaallah dijamin surga.Â
Karena aku membawa kebenaran sesuai syariat Allah dan Nabi." Dan itulah kemudian saya simpulkan bahwa kunci surga berada di tangan ulama X yang notabene hamba Allah.Â
Berbeda dengan KH Hasyim Asyhari, yang ketika santrinya di Yogyakarta curhat kepada beliau tentang keresahan akidah yang dibawakan KH. Ahmad Dahlan. Memang mereka berdua merupakan tokoh besar organisasi Islam (Prndiri NU dan Muhammadiyah) di Indonesia dengan akidah yang berbeda.Â
Beliau mengatakan kepada santri untuk belajar kepada KH. Ahmad Dahlan dengan segala pujian yang disematkan. Karena bahkan seorang ulama KH. Hasyim Asyhari tak berani menjamin seseorang masuk surga karena mengikuti akidahnya.
Begitulah seharusnya menjadi hamba Allah. Senantiasa bertauhid dan mencari kebenaran dalam beragama dan saling toleransi. Bukan mendoktrin tentang haram dan halal, sunah dan bidah, benar dan salah karena semua adalah hak Allah SWT.Â
Entah bagaimana nanti kita ditempatkan (surga atau neraka), kita pasrahkan kepada Allah karena semua sudah ada yang mengatur tentang kebenaran dan kesalahan yang masih diperdebatkan antar umat beragama itu sendiri.
Lalu siapa yang mendapatkan surga? Hanya Tuhan yang mengetahui. Sebagai hamba seharusnya kita menyadari diri tentang kekurangan kita, bukan malah menyombongkan apa yang telah kita punya, termasuk agama.Â
Sesuatu yang menurut manusia adalah kebenaran dari agama belum tentu juga untuk Tuhan begitu juga yang dirasa haram. Karena agama adalah moralitas manusia terhadap Tuhannya. Dan Tuhanlah yang menentukan bukan manusia.
Seperti dalam syair Abu Nawas "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku tak pantas memasuki surga-Mu. Namun demikian, aku juga tak sanggup menahan siksa neraka-Mu. Maka dari itu terimalah taubatku dengan segala kerendahanku. Sesungguhnya Engkau Tuhan yang maha pemaaf"