Mohon tunggu...
Joko Yuliyanto
Joko Yuliyanto Mohon Tunggu... Jurnalis - pendiri komunitas Seniman NU
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis opini di lebih dari 100 media berkurasi. Sapa saya di Instagram: @Joko_Yuliyanto

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membedah Seniman NU: Kebenaran Agama

6 November 2019   09:05 Diperbarui: 6 November 2019   09:09 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tuhan merupakan sumber kebanaran dan satu-satunya kebenaran. Dalam konsep pemahaman agama melahirkan konsep kebenaran yang bersifat ekstensial, moral, dan proporsional.

Doktrin untuk mendapatkan kebenaran mutlak dirasakan sejak usia dini. Sehingga peran mereka adalah sebagai pembenar yang berhak menyalahkan perilaku atau bahkan individu lainnya. Tafsiran yang beredar di lini masa dengan ribuan informasi kontradiksi tersebut menjadikan betapa mengerikannya klaim kebenaran. Kapling surga pun diperebutkan, karena dianggapnya surga secuil imajinasi manusia kaku di bumi ini.

Iming-iming kebenaran menjadikan manusia gemar menyalahkan orang lain. Karena baginya kebenaran adalah jawaban yang lebih dulu diketemukan olehnya. Tidak ada lagi gairah dakwah untuk mengajak "sama-sama benar". Karena alam bawah sadar manusia yang dilatih untuk menghukum orang lain yang dianggapnya bakal merusak kebenarannya.

Pendapat yang demikian seharusnya bisa lebur dan menjadi luwes ketika Prof. Quraish Shihab memaparkan secara bijak tentang sebuah kebanaran yang begitu universal. Kebenaran mutlak hanya milik Allah. Sehingga tafsiran yang muncul, bilangan sepuluh adalah penjumlahan atau pengurangan atau perkalian atau pembagian atau pengakaran dari berapa dan berapa?! Sehingga akan ditemukan jalan atau proses yang begitu banyak untuk mencapai kebenaran.

Keresahan umat saat ini adalah adanya monopoli kebenaran dengan pernyataan bahwa lima tambah lima itu hasilnya sepuluh. Tidak ada toleransi bagi tujuh tambah tiga, lima kali dua, empat puluh dibagi empat, dan macam sebagainya. Pemikiran konservatif dengan slogan kembali ke Alquran dan Sunah semacam ini menjadikan islam begitu sumpek!

Wal hasil, Nahdlatul Ulama menempuh jalan tengah dengan tetap berpedoman pada Alquran dan hadis tapi tetap progresif mengikuti perkembangan zaman. Seperti halnya Muhammadiyah dengan Islam yang berkemajuannya. Era post-modern yang mengabaikan kebenaran untuk terlihat berkuasa (meraih kemenangan) dengan segala cara, termasuk menjatuhkan teman atau saudaranya sendiri. Sehingga kawan dan lawan tidak lagi jelas bagi umat yang begitu fanatiknya terhadap kebenaran semu.

Joko Yuliyanto

*Pernah diterbitkan di website Seniman NU

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun