Tuhan merupakan sumber kebanaran dan satu-satunya kebenaran. Dalam konsep pemahaman agama melahirkan konsep kebenaran yang bersifat ekstensial, moral, dan proporsional.
Doktrin untuk mendapatkan kebenaran mutlak dirasakan sejak usia dini. Sehingga peran mereka adalah sebagai pembenar yang berhak menyalahkan perilaku atau bahkan individu lainnya. Tafsiran yang beredar di lini masa dengan ribuan informasi kontradiksi tersebut menjadikan betapa mengerikannya klaim kebenaran. Kapling surga pun diperebutkan, karena dianggapnya surga secuil imajinasi manusia kaku di bumi ini.
Iming-iming kebenaran menjadikan manusia gemar menyalahkan orang lain. Karena baginya kebenaran adalah jawaban yang lebih dulu diketemukan olehnya. Tidak ada lagi gairah dakwah untuk mengajak "sama-sama benar". Karena alam bawah sadar manusia yang dilatih untuk menghukum orang lain yang dianggapnya bakal merusak kebenarannya.
Pendapat yang demikian seharusnya bisa lebur dan menjadi luwes ketika Prof. Quraish Shihab memaparkan secara bijak tentang sebuah kebanaran yang begitu universal. Kebenaran mutlak hanya milik Allah. Sehingga tafsiran yang muncul, bilangan sepuluh adalah penjumlahan atau pengurangan atau perkalian atau pembagian atau pengakaran dari berapa dan berapa?! Sehingga akan ditemukan jalan atau proses yang begitu banyak untuk mencapai kebenaran.
Keresahan umat saat ini adalah adanya monopoli kebenaran dengan pernyataan bahwa lima tambah lima itu hasilnya sepuluh. Tidak ada toleransi bagi tujuh tambah tiga, lima kali dua, empat puluh dibagi empat, dan macam sebagainya. Pemikiran konservatif dengan slogan kembali ke Alquran dan Sunah semacam ini menjadikan islam begitu sumpek!
Wal hasil, Nahdlatul Ulama menempuh jalan tengah dengan tetap berpedoman pada Alquran dan hadis tapi tetap progresif mengikuti perkembangan zaman. Seperti halnya Muhammadiyah dengan Islam yang berkemajuannya. Era post-modern yang mengabaikan kebenaran untuk terlihat berkuasa (meraih kemenangan) dengan segala cara, termasuk menjatuhkan teman atau saudaranya sendiri. Sehingga kawan dan lawan tidak lagi jelas bagi umat yang begitu fanatiknya terhadap kebenaran semu.
Joko Yuliyanto
*Pernah diterbitkan di website Seniman NU
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H