Mohon tunggu...
Joko Untoro
Joko Untoro Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Riwayat Pendidikan: SDN 4 Wonosari, SMPN Sumberrejo, SMAN Tugumulyo, Mahasiswa UNY

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Profil Guru Pendidikan Kewarganegaraan yang Ideal

2 April 2015   22:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:36 1049
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Guru merupakan jabatan profesional, disebut profesional karena profesi seorang guru memerlukan kemampuan atau keahlian khusus untuk melakukannya. Keahlian khusus tersebut diperoleh dan dikembangkan pada masa pendidikan tertentu. Untuk menjadi seorang guru, guru wajib memiliki kualifikasi akademik yang diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana (S1) atau program diploma empat (D4), sesuai dengan bunyi Undang-Undang No 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Untuk menjadi seorang guru saat ini tidak hanya berasal dari ilmu kependidikan saja namun, juga dari ilmu non-kependidikan, hal ada semenjak munculnya peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan yang mengatur tentang Program Profesi Guru (PPG), yakni Permendikbud Nomor 87 Tahun 2013.

Dalam Undang-undang 14 Tahun 2005 Tentang Guru Dan Dosen disebutkan bahwa, Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Berdasarkan definisi tersebut, kita dapat mengetahui bahwa, seorang guru mempunyai peranan yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan pendidikan. Keberhasilan pendidikan hanya dapat dilihat dari output atau kualitas lulusannya. Output suatu pendidikan dapat dipengaruhi oleh guru yang berkualitas dan profesional. Dimana dalam hal ini, seorang guru tersebut mempunyai kemampuan dalam hal menguasai ilmu pengetahuan, memanajemen serta mempunyai strategi dalam proses pembelajaran. Secara spesifik Mukhamad Murdiono (2012:28) memberikan suatu simpulan, bahwa strategi pembelajaran merupakan rencana dan cara-cara melaksanakan kegiatan pembelajaran agar prinsip dasar pembelajaran dapat terlaksana dan tujuan pembelajaran dapat di capai secara efektif.

Dengan demikian, Jika kualitas lulusan suatu pendidikan itu buruk, maka keprofesionalan guru dalam proses pembelajaran dinilai sangat kurang. Sedangkan jika kualitas lulusan yang dihasilkan itu baik,  dapat dikatakan keprofesionalan guru dalam proses pembelajaran itu berhasil. Baik itu dalam hal mengelola pembelajaran, penyampaian materi, maupun membangun interaksi antara guru dan anak didiknya.

Menurut Dwi Siswoyo, (2011:128) ada tiga syarat seorang dapat dikatakan sebagai pendidik, yaitu: mempunyai perasaan terpanggil sebagai tugas suci, mencintai dan mengasih-sayangi peserta didik, mempunyai rasa tanggung jawab yang didasari penuh akan tugasnya. Orang yang merasa terpanggil jiwanya untuk mendidik maka ia mencintai peserta didiknya dan memiliki perasaan wajib dalam melaksanakan tugasnya disertai dedikasi yang tinggi atau bertanggung jawab.

Dari ketiga kriteria yang disebutkan diatas, nampaknya cocok jika disandingkan dengan salah satu tokoh penggerak pendidikan di daerah Pelalawan, Provinsi Riau. Dia adalah Edi Mohammad Muhtar seorang guru yang terpanggil jiwanya untuk mendidik dan mempunyai mimpi membangun sebuah sekolah di daerah transmigran. Profil  Edi Mohammad Muhtar pernah dimuat di Harian Kompas pada Hari Jumat, 25 November 2011.

Edi Mohammad Muhtar (23 tahun), seorang pemuda lulusan pendidikan guru agama (PGA) yang nekat memutuskan untuk hidup mandiri dengan mengabdikan dirinya menjadi seorang guru di sebuah lokasi transmigran yang terletak di kawasan pelosok yang belum terjamah.

Selesai menamatkan pendidikan guru agama (PGA) pada tahun 1988, dirinya sempat mengajar sebagai tenaga honorer di Cianjur, Jawa Barat. Saat ada program transmigrasi pemerintah pada tahun 1991, ia memaksakan diri untuk meninggalkan  keluarganya dan mengadu nasib ke Kampar (sekarang Pelalawan), Riau. Yang Pada waktu itu, usia Edi masih 23 tahun.

Saat awal menginjakkan kaki di sana, Edi sempat luntang lantung tanpa pekerjaan. Pasalnya, mayoritas penduduk Ukui adalah petani sawit dan menjadi petani sawit bukanlah hasrat Edi.

Karena mempunyai latar belakang sebagai guru, Akhirnya, ia mempunyai keinginan untuk mengajar, namun apa daya di lokasi transmigran yang ia tempati tidak ada sekolah. Hanya ada satu sekolah dalam satu kecamatan, dimana dalam Kecamatan Ukui tersebut ada 15 desa yang tersebar di bukit-bukit.

Kemudian, Edi pun memutuskan membantu temannya sebagai tenaga honorer guru agama di sebuah sekolah dasar (SD) yang letaknya belasan kilometer dari desanya di Silikuan Hulu. Selama ia mengajar di SD tersebut dalam sebulan ia mendapat gaji sebesar Rp 30.000-Rp 40.000 perbulan.

Setelah setahun mengabdi di sana, Edi memutuskan keluar. Dengan bermodal pendidikan guru dan jadi jiwa pendidik yang selalu melekat. Ia ingin mewujudkan mimpinya yaitu mendirikan sekolah di tengah-tengah masyarakat Silikuan Hulu. Motivasinya cukup sederhana. Edi merasa miris melihat banyak anak-anak di Silikuan Hulu tidak mengenyam pendidikan akibat sulitnya akses menuju sekolah terdekat. Edi beranggapan bahwa kalau tidak ada sekolah di lokasi transmigrasi, bagaimana mungkin bisa mau membangun sebuah kota.

Untuk mewujudkan mimpinya itu, Edi melakukan lobi ke berbagai pihak. Dukungan dari seluruh masyarakat Silikuan Hulu pun dikantonginya. Dengan dana swadaya masyarakat, Edi membangun sekolah dasar.

"Waktu itu belajarnya masih di barak-barak di lapangan dan di rumah-rumah warga. Pengajar juga dari warga semua, enggak ada yang pendidikan resmi. Belajar pokoknya seadanya

Pemerintah daerah melalui Kabupaten Kampar pada akhir tahun 1992 akhirnya memberikan bantuan berupa bangunan permanen. Ketika gedung baru sudah didapat, proses belajar mengajar pun berlangsung formal sesuai dengan aturan yang ditetapkan Dinas Pendidikan Riau. Namun, tetap dengan segala keterbatasan yang ada di kawasan pedalaman.

Pada tahun 2011, Edi menjabat sebagai Kepala SDN 012 Silikuan Hulu. Ia bertanggung jawab terhadap proses pendidikan bagi 125 orang siswa yang mengenyam pendidikan di sana.

Ia masih menyimpan satu harapan, yaitu perhatian dari pejabat setempat untuk memberikan bantuan buku kepada anak didiknya. Edi tahu, risiko tinggal di pedalaman adalah sulitnya akses dan minimnya dana untuk membangun. Namun, hal itu tentu tidak bisa dijadikan alasan untuk merenggut hak anak mendapatkan pendidikan terbaiknya (Kompas.com, 2011)

Perjuangan Edi Mohammad Muhtar sebagai sosok penggerak pendidikan patut diapresiasi. Perjuangannya dalam mengupayakan pendidikan bagi anak-anak di lokasi transmigran sungguh luar biasa dan patut untuk diacungi jempol. Sosok yang demikian jarang sekali kita temui saat ini. Keberaniannya dalam mendirikan sekolah merupakan suatu langkah dalam upaya memajukan pendidikan dan sebagai jalan untuk memberantas kebodohan.

Panggilan jiwa untuk mendidik seperti yang dilakukan oleh Edi Muhammad merupakan tugas utama bagi seorang guru. Dwi Siswoyo (2011:133) berpendapat bahwa pada dasarnya guru mempunyai tugas mendidik dan mengajar peserta didik agar dapat menjadi manusia yang dapat melaksanakan tugas kehidupannya yang selaras dengan kodratnya sebagai manusia yang baik dalam kaitan hubungannya dengan sesama manusia maupun dengan Tuhan. Sedang tugas mengajar berkaitan dengan transformasi pengetahuan dan keterampilan kepada peserta didik. Namun bagi guru di kelas, tugas mendidik dan mengajar merupakan tugas yang terpadu dan saling berkaitan.

Meskipun demikian, profesi seorang guru bukan tanpa resiko. Menjadi seorang guru lebih mempunyai banyak resiko dari pada profesi yang lain, walaupun dampak yang di timbulkan tidak secara langsung bisa dirasakan, namun akan berpengaruh masa depan anak didiknya. Sebagai contoh profesi dokter dengan profesi guru, seorang dokter jika melakukan kesalahan dampaknya akan menimbulkan cacat/kematian pada pasien dalam waktu yang singkat. Sedangkan jika seorang guru melakukan kesalahan dalam menyampaikan ilmu yang diajarkannya, maka kesalahannya tersebut akan berdampak luas dalam jangka waktu yang lama, karena ilmu yang diajarkan akan terus mengalir secara turun temurun, sehingga akibatnya potensi kemanusiaan pada generasi mendatang dapat terbunuh oleh praktek pendidikan yang salah.

Sosok Guru Ideal

Guru yang kreatif, inovatif, penuh semangat, empati, dan luwes berperan sebagai fasilitator adalah gambaran guru ideal (Kompas, 2013). Sosok guru demikian adalah sosok guru yang senantiasa menjadi dambaan, bahkan mungkin sosok guru yang diimpi-impikan oleh setiap peserta didik. Bisa menjadi panutan, baik dalam ucapan, tingkah laku maupun dalam hal kepribadian lainnya, termasuk juga dalam setiap menghadapi permasalahan pembelajaran di dalam kelas. Dalam proses pembelajaran, guru yang demikian akan selalu dirindukan oleh peserta didik dan bukan lagi menjadi momok yang menakutkan.

Selain itu, guru ideal juga dapat dikatakan sebagai sosok guru yang mempunyai kemampuan dalam hal penguasaan ilmu pengetahuan dan mempunyai strategi jitu dalam mengelola pembelajaran serta terbuka menerima kritik dan saran dari anak didiknya. Sehingga dari itu akan timbul proses pembelajaran yang menyenangkan. Dari proses pembelajaran yang demikian akan mampu memacu semangat siswa untuk lebih rajin belajar. Dengan begitu, diharapkan dapat membawa dampak positif bagi perkembangan prestasi belajar peserta didik. Namun sayang, keberadaan guru yang ideal saat ini tidak mudah untuk ditemukan. Padahal guru yang demikian sangat dibutuhkan bagi keberhasilan suatu pendidikan, terutama dalam membangun kualitas sumber daya manusiannya.

Dalam pasal 3, Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Berdasarkan tujuan pendidikan nasional tersebut, seorang guru merupakan sosok yang paling berpengaruh bagi keberhasilan pendidikan dan juga dalam pencapaian tujuan pendidikan. Oleh sebab itu, majunya suatu negara sangat ditentukan oleh kualitas pendidikannya, yang mana seorang guru memegang peranan penting dalam hal tersebut.

Sebagai sosok yang memegang peranan penting dalam bidang pendidikan, guru merupakan profesi yang mulia. Dalam pergaulan sehari-hari kita mengenal ungkapan “di tangan seorang guru akan melahirkan banyak pemimpin negara, sebaliknya di tangan seorang pemimpin negara tidak bisa melahirkan seorang guru”. Profesi seorang guru bukanlah profesi yang mudah. Dalam bahasa Jawa guru dikenal istilah “digugu lan ditiru”, artinya: apa yang di lakukan atau di ajarkan oleh seorang guru akan ditiru pula oleh anak didiknya. Jika seorang guru mengajarkan kebaikkan, maka perbuatan baik tersebut juga akan diikuti oleh anak didiknya. Sebaliknya, jika seorang guru mengajarkan keburukan, maka perbuatan buruk itu akan diikuti oleh anak didiknya, bahkan bisa lebih parah, dalam ungkapan kita mengenal “guru kencing berdiri murid kencing berlari”

Meminjam kalimat dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan “menjadi guru bukanlah pengorbanan, tapi suatu kehormatan. Peran guru sangat mulai karena memupuk generasi muda sebagai penerus bangsa”. Suatu kehormatan tersebut merupakan tanggung jawab bagi seorang guru yang harus diimbangi dengan dedikasi dan keprofesionalan guru dalam mengajar dan mendidik peserta didiknya secara sungguh-sungguh. Oleh sebab itu, seorang guru akan bangga bila peserta didiknya menjadi orang yang berhasil dikemudian hari. Karena hal tersebut tidak terlepas dari pendidikan yang diperolehnya sewaktu di sekolah. Dimana disekolah tersebut seorang guru mempunyai pengaruh besar dalam memberikan ilmu pengetahuannya serta mengembangkan potensi peserta didik menjadi lebih baik.

Sosok Guru PKn yang Ideal

Pendidikan kewarganegaraan (PKn) sebagai program pendidikan yang membahas tentang masalah kebangsaan, kewarganegaraan dalam hubungannya dengan negara, demokrasi, HAM, dan masyarakat madani (civil society) yang dalam implementasinya menerapkan prinsip-prinsip pendidikan demokratis dan humanis (Hamidi, 2010:78). Merupakan bidang studi yang secara pedagogis bertujuan untuk membentuk warga negara yang baik (good citizen). Yaitu warga negara yang sadar akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Baik hubungannya dengan negara maupun dengan sesama warga negara.

Sebagai bidang kajian yang bertujuan untuk membentuk karakter peserta didik agar menjadi warga negara indonesia yang baik, berakhlak mulia, cerdas, partisipatif, dan bertanggung jawab serta tahu akan hak dan kewajibannya, seorang guru pendidikan kewarganegaraan yang ideal, dalam memberikan materi pelajaran perlu menguasai bidang pengetahuan yang berkaitan dengan mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan itu sendiri. Dengan adanya penguasaan tersebut diharapkan dapat mempengaruhi peserta didik dalam menerima materi yang diajarkan dan selanjutnya mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Penguasaan guru PKn terhadap materi pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan mencakup komponen yang hendak dikembangkan dalam Pendidikan Kewarganegaraan yang terdiri dari Pengetahuan Kewarganegaraan (civic knowledge), Ketrampilan Kewarganegaraan (civic skills), dan Karakter kewarganegaraan (civic dispositions) (Erlinayanti, 2012).

1.Pengetahuan Kewarganegaraan

Pengetahuan Kewarganegaraan (civic knowledge) merupakan materi substansi yang harus diketahui oleh warga negara, berkaitan dengan hak dan kewajiban sebagai warga negara dan pengetahuan yang mendasar tentang struktur dan sistem politik, pemerintahan dan sistem sosial yang ideal sebagaimana terdokumentasi dalam Pancasila dan UUD 1945 maupun yang terkonvensi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta nilai-nilai universal dalam masyarakat demokratis serta cara-cara kerjasama untuk mewujudkan kemajuan bersama dan hidup berdampingan secara damai dalam masyarakat internasional (Erlinayanti, 2012).

Sebagai seorang guru yang ideal tentunya harus mempunyai pengetahuan yang luas terhadap bidang pelajaran yang ditekuninya. Guru pendidikan kewarganegaraan untuk dapat dikatakan ideal juga harus mempunyai kemampuan yang sama terkait dengan penguasaan pengetahuan, yaitu pendidikan kearganegaraan. Jika seorang guru mempunyai kemampuan dalam hal penguasaan materi, maka kegiatan belajar mengajar akan berlangsung dengan lancar. Sebaliknya jika seorang guru tidak mempunyai kemampuan dalam penguasaan materi pelajaran, yang terjadi proses kegiatan belajar-mengajar menjadi tidak maksimal, Sehingga akan berdampak pada peserta didik. Peserta didik menjadi tidak paham dengan materi yang di ajarkan oleh gurunya tersebut, alhasil proses kegiatan belajar mengajar akan menjadi sia-sia.

2.Ketrampilan Kewarganegaraan

Ketrampilan Kewarganegaraan (civic skills), merupakan keterampilan yang dikembangkan dari pengetahuan kewarganegaraan, agar pengetahuan yang diperoleh menjadi sesuatu yang bermakna, yang dapat dimanfaatkan dalam menghadapi masalah-masalah yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (Erlinayanti, 2012).

Dalam kaitannya dengan hal tersebut, seorang guru PKn yang ideal harus bisa memberikan pemahaman terhadap peserta didik bagaimana pentingnya pendidikan kewarganegaraan bagi suatu warga negara. Selain itu, dalam pembelajaran guru hendaknya bisa memberikan berbagai ilustrasi-ilustrasi yang berkaitan dengan kehidupan politik, hukum, dan sosial yang ada dalam kehidupan masyarakat. Dengan tujuan agar peserta didik dapat dengan mudah memahami materi yang diajarkan oleh guru tersebut.

Pemberian ilustrasi-ilustrasi  dalam pembelajaran pendidikan kewarganegaraan sangat penting, karena dalam pembelajaran tersebut sangat erat kaitannya dengan masalah politik, hukum dan sosial. Pemberian ilustrasi akan memancing pemahaman peserta didik untuk bisa berpikir kritis dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga nantinya dapat menjadi warga negara yang baik, yaitu warga negara yang kritis terhadap berbagai permasalahan negara.

Keterampilan ini jika didukung dengan penguasaan pengetahuan kewarganegaraan serta strategi guru dalam mengajar dilakukan dengan baik, maka akan dapat mendorong pola pikir peserta didik menjadi pola pikir yang kritis, yaitu kritis dalam menanggapi isu kewarganegraan

3.Karakter Kewarganegaraan

Karakter kewarganegaraan (civic dispositions), merupakan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh setiap warga negara untuk mendukung efektivitas partisipasi politik, berfungsinya sistem politik yang sehat, berkembangnya martabat dan harga diri serta kepentingan umum (Erlinayanti, 2012).

Menurut Ondi Saondi (2012:18) Guru memiliki peran strategis dalam menentukan keberhasilan pendidikan terutama dalam membentuk watak bangsa serta mengembangkan potensi siswa. Oleh karena itu keberadaan seorang guru dalam dunia pendidikan tidak dapat digantikan oleh siapa pun. Keberadaan robot sebagai hasil dari pengembangan teknologi era modern pun tidak akan bisa menggeser peran seorang guru. Hal ini karena seorang guru mempunyai kepribadian, yang dapat menjadi teladan bagi anak didiknya.

Karakter atau kepribadian itu sendiri adalah kualitas atau kekuatan mental atau moral, akhlak atau budi pekerti individu yang merupakan kepribadian khusus yang menjadi pendorong dan penggerak, serta membedakannya dengan individu lain. Dan seseorang dapat dikatakan berkarakter, jika telah berhasil menyerap nilai dan keyakinan yang dikehendaki masyarakat, serta digunakan sebagai kekuatan moral dalam hidupnya (Muhtadi, 5).

Seorang guru Pendidikan kewarganegaraan diharapkan mempunyai karakter kewarganegaraan yaitu suatu karakter yang tercermin dalam pancasila sebagai ideologi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai ideologi negara, pancasila mempunyai nilai-nilai yang luhur, nilai-nilai tersebut diantaranya, yaitu: nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan. Kelima nilai tersebut  menjadi landasan dalam perbuatan baik dalam kehidupan bernegara.

Dengan pengetahuan pendidikan yang dimilikinya nilai-nilai tersebut kemudian diinternalisasikan ke dalam diri peserta didik melalui kegiatan belajar-mengajar. Jika penginternalisasian nilai-nilai tersebut berhasil, maka nilai-nilai tersebut akan melekat pada diri peserta didik sehingga menjadi suatu karakter.

Peserta didik yang mempunyai karakter kewarganegaraan akan memiliki kemampuan dalam berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab serta bertindak cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Peserta didik yang demikian akan menjadi warga negara yang baik, yaitu warga negara yang memiliki kompetensi berpikir kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi berbagai isu kewarganegaraan

Tujuan yang diharapkan tersebut akan terwujud apabila didukung oleh guru yang menguasai materi pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan secara mendalam, dan mampu mengaitkannya dengan kehidupan yang dialami oleh siswa. Selain penguasaan guru terhadap materi pelajaran, tercapainya tujuan pelajaran pendidikan kewarganegaraan juga sangat dipengaruhi oleh penguasaan guru terhadap pembelajaran. Tanpa adanya ketrampilan guru dalam menyampaikan materi pelajaran maka tujuan yang diharapkan pun akan sulit dicapai.

Sumber Referensi:

Hamidi, Jasim dan Mustafa Lutfi. 2011. Civic Education: antara Realitas Politik dan Implementasi Hukumnya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Murdiono, mukhamad. 2012. Strategi Pembelajaran Kewarganegaraan: Berbasis Portofolio. Yogyakarta: Ombak

Saondi, Ondi dan Aris Suherman. 2012. Etika Profesi Keguruan. Bandung: Refika Aditama

Siswoyo, Dwi, dkk. 2011. Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press

Erlinayanti, Andinta. 2012. Skripsi: Pengaruh Latar Belakang Pendidikan, Pengalaman Mengajar Dan Etos Kerja Guru Terhadap Kompetensi Profesional Guru Pkn Di SMA Negeri Di Kabupaten Magelang. Dipublikasikan Di Universitas Negeri Yogyakarta melaui http://eprints.uny.ac.id/id/ eprint/ 8535 diakses pada tanggal 2 oktober 2014 pukul 20.00 WIB.

Kompas.com. 2011. Kisah Pak Guru Edi di Pedalaman Riau. Diakses pada tanggal 26 Desember 2014, Pukul 16:07  dari http:// edukasi. kompas. com/ read/ 2011/ 11/ 25/ 08440544/ Kisah. Pak. Guru. Edi. di. Pedalaman. Riau

Kompas.com. 2013. Guru Kaku Sudah Tak Laku. Diakses pada tanggal 26 Desember 2014, pukul 15:57 dari http:// edukasi. kompas. com/ read/ 2013/ 11/ 25/ 1818400/ Guru. Kaku. Sudah. Tak. Laku

Muhtadi, Ali.  Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam Pendidikan Karakter di Sekolah. Dipublikasikan di Universitas Negeri Yogyakarta melaluihttp:// staff. uny. ac. id/ sites/ default/ files/ 132280878/ 18. % 20 Pemanfaatan % 20 TIK % 20 dalam % 20 Pendidikan % 20 Karakter % 20 di % 20 Sekolah -prosiding. pdf

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun