Mohon tunggu...
Joko Palu
Joko Palu Mohon Tunggu... profesional -

sahabat itu indah, indahnya sahabat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

PIGI TANA KAILI

16 Mei 2014   01:15 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:29 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Professor Cina Mencari Cucuru dan Surabe

“Carikan saya makanan khas tradisional daerah sini,”.

Demi mendengar permintaan itu, antropolog, kurator dan budayawan Sulawesi Tengah, Iksam Djorimi mengajak sang professor asal negeri cina itu, pergi ke beberapa tempat, hingga dia menemukan kuliner yang disebut Orang Kaili dengan nama ‘Cucuru’ dan ‘Surabe’.

Oleh : JOKO S

“Ini dibuat dengan bahan dasar tepung beras, yang ditumbuk,” dan sang professor terus menyebutkan bahan dasar dan cara memasak kue Cucuru dan Surabe tersebut. “Di negeri saya juga ada makanan seperti ini, bahan dan cara masaknya sama seperti orang sini (Kaili),” lanjut sang professor dalam dialog dengan Iksam Djorimi, yang kembali diceritakan kepada penulis.

Pada suatu kesempatan, Iksam Djorimi mendapat undangan dari sang professor untuk berkunjung ke negerinya. Kemudian Iksam diajak berkeliling ke pelosok negeri. Hingga akhirnya Iksam diajak pula menyeberang ke suatu pulau, yang letaknya antara Taiwan dan Filipina.

Memasuki waktu makan siang, sang professor mengajak Iksam makan di sebuah warung kecil di Pulau yang bernama Nam itu. Warga Taiwan pada umumnya, selain menggunakan bahasa Cina sebagai bahasa nasional, juga menggunakan Bahasa Inggris. Tapi di Pulau Nam juga memiliki bahasa lokal.

Dalam warung tersebut, ada seorang wanita tua sedang membersihkan beras dengan menggunakan Tapis. Karena ruang sempit, seorang ibu yang melayani pengunjung warung itu minta kepada wanita tua, yang tak lain ibu dari ibu pelayan warung itu untuk pindah, menggunakan bahasa daerah setempat.

Mendengar dialog kedua perempuan itu, Iksam berbisik kepada sang professor. “Tolong sampaikan kepada mereka, saya tahu apa yang mereka bicarakan,”.

Dan sang professor menyampaikan hal itu kepada pemilik warung dalam Bahasa Taiwan, bahwa temannya mengerti apa yang mereka ucapkan. “Temanku ini orang Indonesia, dia tahu bahasa kalian, coba kalian test dia dengan hitungan dalam bahasa daerah kalian,”.

Si ibu pelayan warung, yang mengaku tidak tahu Indonesia, tetapi dia tahu ketika disebut Sulawesi kemudian berhitung dari satu sampai sepuluh dalam bahasa setempat. “Siji, Dua, Tilu, Empat, Limo, Nam, Pitu, Wolu, Sio, sepuluh,”.

**

Sampai disini, sebagaimana dimaksud Iksam Djorimi. Ada apa, seorang professor warga dari negara sebesar Cina, dengan perkembangan dan pertumbuhan kekuatan ekonomi dan politik yang meresahkan negara barat. Masih berpayah-payah berkunjung ke Tana Kaili, dan makanpun bukan masuk ke restoran atau rumah makan besar, sehingga dapat memuaskan indera pengecapkan, yang pastinya bukanlah hal yang sulit.

Sebagai seorang Antropolog, sang professor hanya ingin menelusuri lebih jauh, sisa-sisa kesamaan kehidupan dalam peradaban Cina dan Kaili Lembah Palu. Yang dia akui, bukan hanya dari segi Cucuru dan Surabe semata, tetapi sang professor juga menemukan kesamaan-kesamaan lainnya, mulai dari segi teknik dan model alat tenun tradisional, pengolahan kulit kayu sebagai bahan dasar kain, hingga tradisi mengayun bayi, atau orang lembah palu menyebut dengan owa-owa.

Beberapa hal inilah yang memperkuat teori penyebaran manusia, bahwa baik dari segi alamiah atau dari sisi Autronesia, antara Orang Cina dan Orang Kaili memiliki satu sejarah.

Tapi, yang harus jadi bahan perenungan adalah, seorang ilmuwan dari negeri maju dan kaya raya saja, masih memiliki keinginan untuk menelusuri dan memastikan bahwa antara kita dan mereka memiliki hubungan darah (medis menyebut DNA).

Lantas, kenapa kita yang disini, Tana Kaili, yang terang dan jelas garis kekerabatan. Dan kadang hanya dipisahkan batas administratif pemerintahan, RT, kelurahan, kecamatan dan kabupaten, begitu mudah tersulut emosi oleh hal yang tidak jelas alasannya. “Kita pura Nosarara”.***

(Tulisan ini pernah dimuat di Sulteng Post, untuk program fellowship resolusi konflik AJI Palu 2013)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun