Mohon tunggu...
Joko Hariyono
Joko Hariyono Mohon Tunggu... Ilmuwan - Doctor of Philosophy

Karir: - Kerjasama Luar Negeri, Pemda DIY Pendidikan - Ph.D dari University of Ulsan (2017)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kecerdasan Sosial di Jalan Raya

24 November 2016   10:13 Diperbarui: 24 November 2016   19:03 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: edorusyanto wordpress

Jogja kini jauh berbeda dengan 5 bahkan 10 tahun yang lalu. Jika dulu volume kendaraan di jalan raya lebih didominasi pengendara sepeda motor, kini jalan-jalan diperkotaan bisa dibilang  berimbang antara kendaraan roda 2 dan roda 4. Belum lagi ditambah jumlah roda 3, roda 6 dan roda-roda lainnya. Ini setidaknya memberikan gambaran bahwa daya beli masyarakat Jogja memiliki peningkatan yang sangat signifikan, dan tentu saja berimbas pada kepadatan lalu lintas di hampir setiap sudut jalan di Kota Jogja.

Meskipun tidak terjadi di sepanjang waktu, namun di jam-jam mulai aktivitas masuk kerja, istirahat dan pulang kerja merupakan waktu yang kritikal. Bisa jadi ini berpengaruh pada perilaku berkendara di jalan raya yang mungkin bagi sebagian orang hanya sebagai aktivitas rutin yang mengantarkan dirinya dari satu lokasi ke lokasi lain, dari rumah ke lokasi kerja, atau sebaliknya.  Karena bersifat rutin, terkadang kendali alam bawah sadar kita lebih sering digunakan dari pada potensi kecerdasan lain yang dimiliki. Lebih khusus lagi adalah potensi kecerdasan sosial yang dimiliki.

Di jam-jam tertentu, hampir bisa dipastikan kendaraan-kendaraan yang berpapasan dijalan raya adalah kendaraan yang kita temui dihari-hari kerja lainnya. Saya coba memahami, kemungkinan sebagian besar pengendara menghindari memilih jalan yang berubah di hari lain untuk kemudahan memprediksi waktu tempuh perjalanan. Dengan melewati jalan yang sama setiap hari, kita bisa memiliki prediksi waktu yang fix setiap hari, sehingga memudahkan kita dalam mengalokasikan waktu.

Melihat lebih jauh kendaraan-kendaraan yang hampir setiap hari bersliweran di jalan yang sama, menarik fikiran saya untuk melihat lebih dalam bagaimana perilaku seorang pengendara terhadap keadaan traffik yang ada disekitarnya. Meminjam istilah “Social Intelligent” yang dikemukanan Daniel Goleman, seorang dikatakan cerdas secara sosial jika memiliki respon alami yang dapat mendinginkan semua pihak.

Bayangkan jika waktu tempuh perjalanan dari rumah ke kantor selama 1 jam, tiba-tiba anda bangun terlambat, sehingga hanya punya waktu 40 menit perjalanan ke kantor. Respon alami seseorang adalah mempercepat laju kendaraannya agar bisa lebih cepat sampai kekantor daripada waktu rutin biasanya. Apakah respon alami ini bisa dikatakan cerdas? Saya bisa membayangkan berapa banyak pengendara lain yang merasa tidak nyaman karena laju kendaraan kita yang terkadang bermanuver dengan membahayakan orang lain.

Terlebih lagi, perilaku berpura-pura yang sering sekali ditemui di persimpangan jalan di Kota Jogja. Pengendara memperlambat laju kendaraannya seolah-olah hendak mengambil jalan untuk berbelok kekiri (yang seharusnya jalan terus). Berjalan lambat mengikuti digital counting agar tepat sampai di baris depan saat lampu berubah menjadi hijau.

Sesampai di depan antrian spontan mempercepat laju kendaraannya meninggalkan pengendara lain yang berjajar antri. Kelihatannya perilaku ini bisa ditolelir pengendara lain, “mungkin dia buru-buru atau berubah fikiran”. Namun kekesalan pengedara lain yang memang akan berbelok ke kiri menunjukkan respon alami keterburu-buruan anda membuat orang lain tidak nyaman.

Berhati-hatilah untuk tidak mengambil hak orang lain secara paksa. Bahkan seandainya itu adalah Hak Anda, tidak seharusnya diambil secara paksa, apalagi itu hak orang lain. Saya pernah menemui seorang pengemudi yang cukup santun untuk mengingatkan pengendara lain yang menutupi haknya. Meskipun seharusnya ia dapat berbelok ke kiri secara langsung, namun beberapa pengedara motor menutupi akses jalan bebas kekiri tersebut.

Ia tidak memilih untuk membunyikan klakson mobilnya yang mungkin terdengar menyebalkan dan angkuh dimata pengendara lain, namun ia membuka jendela mobilnya dengan santun lalu menyapa beberapa pengendara motor. “Nyuwun sewu Pak, nderek langkung nyuwun dhalane, kulo badhe mengiwo”. Terjemahannya, “mohon maaf Pak, minta diberikan jalan, saya mau kekiri.” Meskipun terlihat tidak efektif, namun respon alami ini menunjukkan betapa pengendara ini menghargai orang lain meskipun Ia berhak menyingkirkan paksa orang-orang yang menutupi jalannya.

Tidak perlu merampas paksa hak kita, meskipun orang lain mungkin dengan sengaja atau tidak telah menutupinya. Ketidaksabaran kita untuk mengambil secepatnya hak kita, terkadang bisa membuat ada pihak lain yang terluka. Jika kita mau berfikir lebih jauh, mana yang lebih penting, “Hak kita” atau “Hubungan kita dengan orang lain”? Hak kita yang kita tuai hanya dinikmati “Sesaat”, namun perilaku kita berhubungan dengan orang lain adalah , “Kebiasaan yang melekat”, sifatnya jangka panjang. Maka lebih berhati-hatilah dengan perilaku kita berinteraksi dengan orang lain.

Kecerdasan Sosial menuntun kita untuk memiliki “Respon Alami” yang tepat dalam menempatkan “Hubungan Interaksi kita dengan orang lain”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun