Mohon tunggu...
Joko_Siswanto
Joko_Siswanto Mohon Tunggu... -

tak ada kata terlambat untuk belajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengembalikan Marwah Peradilan Indonesia

6 Oktober 2016   11:10 Diperbarui: 6 Oktober 2016   16:56 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Modus yang umum terjadi adalah adanya permintaan biaya tak resmi dalam proses pendaftaran. Bahkan tak jarang ditemukan pegawai pengadilan yang menawarkan penggunaan jasa advokat tertentu yang memiliki hubungan dekat dengan hakim yang akan menangani perkara.Kedua,tahap penetapan majelis hakim. Setelah proses pendaftaran perkara, modus yang sering ditemukan adalah berupa pengaturan majelis hakim yang akan mengadili perkara tersebut. Pihak yang beperkara baik secara langsung atau tidak langsung meminta ketua pengadilan untuk menunjuk hakim tertentu yang dianggap mau bekerja sama.

Ketiga,tahap pemeriksaan persidangan. Pada proses persidangan, mafia hukum bekerja dengan merekayasa sebuah persidangan. Persidangan dapat dilakukan secara maraton, memotong tahapan tertentu dalam persidangan, mengatur barang bukti, menyusun pertanyaan hakim dan jawaban hingga pengaturan putusan hakim. 

Tahapan ini melibatkan banyak pihak, tak terkecuali jaksa selaku penuntut umum. Praktik yang lazim dilakukan oleh oknum jaksa nakal adalah dengan ketidakaktifannya dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Tak jarang oknum jaksa juga mengajukan tuntutan yang rendah sebagai bagian dari kesepakatan. Proses menjelang musyawarah hakim merupakan salah satu titik paling rawan. Pada tahap ini sering kali pihak yang beperkara berusaha membeli putusan hakim sesuai dengan keinginan mereka.

Keempat,tahap minutasi putusan. Setelah putusan dibacakan bukan berarti praktik mafia hukum selesai. Untuk sampai ke tangan para pihak, putusan tersebut harus melewati proses minutasi atau pengetikan putusan. Dalam proses minutasi, mafia hukum juga bekerja dengan mengubah putusan yang dibacakan hakim dalam persidangan dengan salinan putusan yang diterima. Selain itu tak jarang ditemukan upaya memperlambat pengiriman salinan putusan untuk tujuan tertentu.

Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (Satgas MPH)

Salah satu upaya penting dan strategis yang pernah dilakukan pemerintah untuk mengembalikan marwah peradilan yang bersih, adil, dan menjunjung tinggi integritas adalah membentuk Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (Satgas PMH). Satgas PMH dibentuk oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 30 Desember 2009 melalui Keputusan Presiden Nomor 37 tahun 2009 tentang Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum. Tujuannya adalah untuk mempercepat pemberantasan praktik mafia hukum yang semakin lama dianggap semakin mengkhawatirkan dan merusak upaya penegakan hukum di Indonesia.

Berdasarkan Keppres No. 37/2009, Satgas PMH bertugas untuk melakukan koordinasi, evaluasi, koreksi dan pemantauan agar pemberantasan mafia hukum dapat dilakukan secara efektif. Dalam menjalankan tugas tersebut, Satgas PMH diberi kewenangan bekerja sama dengan berbagai lembaga negara serta melakukan penelaahan, penelitian serta hal-hal lain yang dianggap perlu untuk memperoleh segala informasi yang dibutuhkan dari semua instansi, baik di Pusat maupun Daerah, BUMN, BUMD dan pihak lain. Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Satgas PMH bertanggungjawab langsung kepada Presiden melalui Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pembangunan (UKP4).

Pada Januari 2012 Satgas PMH resmi dibubarkan, setelah bekerja selama dua tahun. Satgas PMH dinilai berhasil menjalankan tugasnya dengan baik dalam melaksanakan koordinasi, evaluasi, koreksi, dan pemantauan agar pemberantasan mafia hukum dapat dilakukan seefektif mungkin. Sampai dengan 23 Desember 2011, dari hampir 5.000 pengaduan masyarakat yang diterima Satgas PMH, 4.401 (89 persen) pengaduan telah dipelajari untuk kemudian ditindaklanjuti. Pengaduan yang urgen segera disampaikan Satgas PMH ke instansi terkait melalui surat maupun koordinasi langsung.

Untuk kasus-kasus yang strategis, Satgas PMH melakukan pemantauan dan kajian secara proaktif guna menemukan solusi terbaik bagi perbaikan sistem, terutama pada lembaga-lembaga penegakan hukum. Penguatan sistem penegakan hukum (seperti penguatan fungsi Komisi Kepolisian Nasional) serta kasus-kasus besar yang terungkap pada sepanjang masa kerja Satgas PMH (seperti pengungkapan kasus Gayus) juga telah ditindaklanjuti secara baik oleh lembaga penegak hukum terkait.

Kasus Pelanggaran Kode Etik dan Profesi Hakim Masih Marak

Meskipun dalam laporannya dikatakan bahwa Satgas PMH telah berhasil menjalankan roda penegakan hukum sehingga berjalan lancar dan berputar sebagaimana mestinya, namun pasca dibubarkannya Satgas PMH ternyata dalam kenyataannya pemberantasan mafia hukum tidak benar-benar tuntas.Kasus-kasus pelanggaran kode etik dan profesi hakim, misalnya, terus bertambah. Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejak tahun 2005 telah ditetapkan 14 hakim menjadi tersangka dalam tindak pidana suap (CNN Indonesia, Deretan Hakim Tersangkut Kasus Suap, 26/05/2016). Dalam daftar KPK itu, hakim pertama yang tersangkut kasus suap adalah Ibrahim, hakim PTUN Jakarta. Tahun 2010 ia disangka menerima suap Rp300 juta dari PT Sabar Ganda yang saat itu berperkara dengan pemerintah terkait tanah di kawasan Cengkareng Barat. Atas perbuatannya, Ibrahim divonis penjara selama enam tahun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun