Mohon tunggu...
joki marpaung
joki marpaung Mohon Tunggu... karyawan swasta -

...senang mengamat-amati, kemudian direnungkan, kemudian ditulis...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Memulai Pembelajaran Etika Dengan Tidak Beretika

25 Oktober 2010   05:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:07 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yunani yang menjadi asal-muasal tokoh-tokoh filosof besar yang menelurkan tema etika memang logis menjadi tujuan BK-DPR untuk melakukan studi banding dengan tema “etika”. Apalagi gelar Bapa Etika disandang oleh Socrates yang memang sepuhnya filosof-filosof barat.

 

Apa sih emang artinya etika? Di sebuah kamus online Bahasa Indonesia, kata etika diartikan sebagai: ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, dan tentang hak dan kewajiban moral. Sedangkan wikipedia berbahasa Inggris mengartikan etika yang juga dikenal sebagai filosofi moral sebagai: sebuah cabang dari filosofi yang mempertanyakan tentang moralitas, yaitu konsep tentang yang jahat dan baik, benar dan salah, kebajikan, keadilan, dan yang sejenisnya.

 

Socrates sebagai sepuh para filosof memperkenalkan etika dengan bentuk mengedepankan hidup manusia di tempat teratas/terdepan dibandingkan hal-hal lainnya, termasuk diri sendiri. Sehingga akhirnya tema kemanusiaan menjadi tema yang penting atau isu sentral. Dan dengan melakukan hal tersebut, Socrates yakin bahwa manusia akan menemukan kebahagiaannya. Bagi Socrates, manusia yang sungguh-sungguh bijak, akan tahu/peka mana yang benar, mana yang baik, dan kemudian kebahagiaan akan mengikutinya.

 

Point pertama yang ingin saya sampaikan adalah, ketiga paragraf pertama di atas saya hasilkan dari sedikit menjelajah/berselancar di dunia maya dan juga sedikit dari yang terekam di ingatan saya pasca membaca beberapa buku tentang filsafat. Dengan kata lain, banyak pelajaran yang bisa diraih dengan murah dan juga meriah. Kalau kata teman, dunia ada di ujung 10 jari kita—bagi yang mengetik dengan 10 jari—tinggal kita mau memanfaatkan teknologi yang ada atau tidak.

 

Point kedua adalah soal etika yang hendak dipelajari. Ketika kata “belajar” muncul, maka bagi saya pribadi menyiratkan 2 makna. Makna pertama bahwa si oknum yang mau belajar, belum merasa bisa dalam hal yang ingin dipelajarinya tersebut, sehingga suatu hal yang lumrah jika dia mempelajarinya. Makna kedua adalah ketika si oknum sudah ahli, dan ingin melakukan studi lebih jauh/lebih mendalam lagi pada tema yang ingin dipelajarinya tersebut. Yang mana kira-kira menjadi muatan BK-DPR pergi belajar ke Yunani? Saya pribadi lebih melihat ke makna yang pertama.

 

Apa yang melatarbelakangi saya memilih makna yang pertama? Bisa terlihat bagaimana anggota dewan kita masih tak beretika dalam menyampaikan pendapat, dalam menyampaikan interupsi, dalam bersidang, baik secara paripurna, maupun dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil. Belum beretika juga ketika menggunakan rakyat sebagai alasan agar uang yang berlimpah-limpah mengalir ke DPR, belum beretika juga dalam menggunakan uang yang seharusnya mereka gunakan, belum beretika juga dalam menerima uang yang seharusnya tidak mereka terima, dll. Saya yakin, jika list nya diurutkan, maka akan banyak daftar nir-etika anggota dewan yang katanya terhormat itu.

 

Yunani memang sempat menjadi pusat lahirnya pemikir-pemikir terkenal, tetapi etika lokal atau saya lebih suka menyebutkannya dengan kearifan lokal juga tak kalah dibandingkan dengan etika-etika hasil pemikiran filosof-filosof Yunani sana. Tata nilai budaya Indonesia juga mengajarkan etika-etika yang sama seperti Yunani sana, dan baik suku maupun agama/kepercayaan yang berkembang di Indonesia pun juga menyuguhkan nilai moral/etika yang baik juga. Kalau bukan kita yang mengamalkannya terlebih dahulu, siapa lagi? Kita yang punya nilai-nilai kearifan lokal saja masih gagal menerapkannya, apalagi etika Yunani yang jaman dan konteksnya jelas-jelas berbeda dengan sosial budaya Indonesia.

 

Hal di atas sudah menjadi nir-etika awal dari kunjungan BK-DPR. Nir-etika kedua yang menurut saya tak kalah hebohnya adalah ketika rakyat yang sejatinya adalah suara yang harus mereka dengar karena mereka wakil dari rakyat dan uang yang dipakai adalah uang negara yang berasal dari uang rakyat juga, tidak mereka dengar. Mereka yang seharusnya mendengar suara pemilihnya, ternyata tidak digubris sama sekali. Benar-benar nir-etika yang kronis.

 

Saya tak berharap banyak akan ada perubahan dalam etika anggota dewan terhormat kedepannya selepas BK-DPR kembali ke Indonesia. Saya akan tetap berlapang dada, bahwa anggota dewan ini akan tetap bermental seperti kumpulan anak-anak TK, kalau menggunakan istilah almarhum Gus Dur, karena untuk belajar tentang etika ini saja sudah dimulai dengan tidak beretika.

 

Salam etika.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun