Dengan polosnya salah seorang bapak berkata, "Maaf, mbak. Tadi saya pikir polisi..."
Sungguh saya tak dapat menahan senyum. Semua yang mengenal saya tentu akan sepakat bahwa saya tidak akan masuk test kepolisian, mengingat tinggi yang tidak seberapa. =D
Namun jawaban saya kala itu, "Terus... Kalau saya bukan polisi, Bapak akan meneruskan kegiatan Bapak tadi?" yang dijawab senyum kecut si Bapak.
Dan kemudian saya pun beranjak dari tempat itu, diiringi langkah-langkah kaki anak-anak kecil yang berkata, "Mbak sensus... Mbak sensus... Rumah saya kapan didatangi?"
2. Mbak atau Mas?
Masih di lokasi yang sama, seorang ibu memperingatkan saya, "Mbak... hati-hati. Yang tinggal disitu seorang waria..."
Pada waktu itu, seumur hidup saya, baru sekali itulah saya berinteraksi secara langsung dengan seorang waria. Setelah berkali-kali mengetuk pintu sambil mengucap salam, dan tidak ada jawaban, saya beranjak pergi. Namun, dari kejauhan ada yang menghampiri saya. Seorang laki-laki muda mengenakan celana pendek, tanpa baju, dengan lilitan handuk di kepalanya. Sepertinya dia baru saja selesai mandi di tepi sungai sana, karena dia berjalan dari arah jembatan.
Ketika saya menyapanya, "Maaf, Mas. Minta waktunya sebentar..."
Dengan gusar dia menjawab, "Mas... Mas... Ngga bisa lihat ya? Mbak!"
Tentu saja saya kaget. Penglihatan sayalah yang menyimpulkan saya memanggilnya Mas. Konsep jenis kelamin di dalam pertanyaan SP2000 (dan survey lainnya di BPS) hanya menyediakan dua kemungkinan jenis kelamin, yaitu Laki-laki dan Perempuan.
Baru pada tahun 2009, ketika mendapat kesempatan untuk terlibat dalam kegiatan survey yang respondennya adalah waria, dan saya berkesempatan mewawancarai salah seorang ketua kelompok waria, saya memberanikan diri menanyakan kepadanya, seperti apa saya harus menyapanya. Mengingat pengalaman kurang mengenakkan pada sensus pertama itu.