Di awal tahun 2016, perekonomian Indonesia diwarnai dengan berbagai fenomena munculnya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang mana hal ini berdampak serius pada banyak sektor perekonomian dan terjadi di lima daerah, yaitu DKI Jakarta, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Kabupaten Bandung”.
Berdasarkan data oleh Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menjelaskan bahwa pada Januari 2016 terjadi 208 kasus PHK yang melibatkan 1.414 pekerja, sedangkan Feburari 2016 terjadi kasus PHK terhadap 151 pekerja, sehingga di awal tahun 2016 telah terjadi 285 kasus PHK dengan tenaga kerja PK sebanyak 1.565 pekerja. Namun berdasarkan data dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mencatat jika kasus PHK di awal tahun 2016 sebanyak 12.680 pekerja.
Beberapa kasus PHK yang telah terjadi di antaranya seperti perusahaan PT. Chevron Indonesia, PT. Toshiba, PT. Panasonic, PT. Sandos Indonesia, PT. Novartis Indonesia, PT. Aventis, PT. Krama Yudha Ratu Motor, PT. Ford Indonesia, PT. Hino, PT. Astra Honda Motor, dan lain sebagainya. Sektor yang banyak melakukan PHK antara lain, perdagangan, jasa dan investasi, keuangan, pertambangan, pertanian, infrastruktur, utilitas dan transportasi, serta aneka sektor industri dan industri dasar kimia.
Alasan untuk melakukan downsizing
Beberapa alasan yang menyebabkan fenomena ini terjadi dikarena adanya efek kelesuan dari kondisi perekonomian global yang kemudian berdampak pada perekonomian nasional disepanjang tahun lalu. Pada 16 Februari 2016, sumber berita BBC Indonesia mengutip pendapat dari Reyna Usman, Analis Penempatan dan Perluasan Kesempatan Kerja Kemenaker mengatakan, “Ini merupakan dampak dari globalisasi.
Ada kendala-kendala ekonomi pada masa-masa ini”. Menurut Asisten Ekonomi dan Pembangunan Sekda Provinsi Jawa Tengah, Joko Sutrisno mengatakan bahwa perlambatan pertumbunhan ekonomi serta pelemahan nilai tukar Rupiah memberikan dampak signifikan bagi operasional perusahaan-perusahaan di Indonesia.
Oleh sebab itu, tidak bisa dipungkiri jika pengaruh dari kondisi eksternal seperti menunrunnya harga minyak mentah yang dibawah US$ 35/barel dan harga batubara dibawah US$ 65/ton, krisi ekonomi yang terjadi dibeberapa negara, pengaruh dari kebijakan perekonomian Amerika Serikat (AS) dan Cina, dan berbagai alasan lainnya yang tentu berdampak pada pelaksanaan proses bisnis di Indonesia, sehingga para manajer perlu melakukan perubahan model bisnis dan perencanaan strategi untuk menghadapi tantangan eksternal yang ada. Said Iqbal, Presiden KSPI mengatakan jika PHK pada dua bulan pertama 2016 merupakan sebagian besar karena perusahaan atau pabrik yang tutup dan efisiensi karyawan.
Langkah efisiensi yang dilakukan oleh perusahaan untuk menanggapi tantangan eksternal yang terjadi pun menjadi strategi yang dapat dilakukan oleh para manager dan salah satu caranya adalah dengan melakukan perampingan atau biasa disebut dengan downsizing. Menurut Boyd et al. (2013) menjabarkan bahwa dalam menghadapi tekanan keuangan global tersebut, sebagian perusahaan meresponnya dengan melakukan perampingan perusahaan.
Langkah ini dapat dilakukan jika para manajer selaku decision maker melihat kemampuan dari internal organisasi tidak mampu menyesuaikan dengan kebutuhan yang tinggi dari eksternal organisasi, sehingga bukan hal yang baru lagi jika disaat kondisi perekonomian buruk, maka beberapa perusahaan akan melakukan downsizing sebagai salah satu langkah untuk efisiensi kinerja perusahaan.
Brenner et al.(2014) menjabarkan bahwa downsizing adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan atau dirancang untuk meningkatkan kembali efisiensi organisasi, produktivitas, dan daya saing suatu organisasi dengan strategi mengurangi jumlah ukuran tenaga kerja dalam suatu perusaaan. Adanya pelaksanaan dari downsizing ini dapat membuat perusahaan untuk mengurangi biaya dari aktivitas bisnis, adanya peningkatan dalam kinerja perusahaan, kembali mampu untuk menjawab tantangan eksternal perusahaan, serta mendapatkan efisiensi kerja secara menyeluruh.
Suatu pilihan yang harus dilakukan
Munculnya fenomena berupa banyaknya tenaga kerja yang PHK di awal tahun pun menjadi warna tersendiri dalam perekonomian di Indonesia. Di satu sisi sebagai bentuk adaptasi perusahaan dalam menghadapi tantangan eksternal yang tak menentu. Namun di sisi yang lain, hal ini menandakan bahwa perusahaan belum mampu meprediksi dampak dari tantangan eksternal yang ada, serta minimnya competitive advantages yang perusahaan miliki. Hal-hal inilah yang menandakan kondisi eksternal perusahaan merupakan sesuatu yang sulit untuk diprediksi dan berdampak besar kepada strategi yang akan digunakan oleh perusahaan.
Hal ini dianggap penting bahkan dikatakan wajar jikalau perusahaan yang ingin tetap eksis perlu untuk menerapkan model strategi yang berubah-ubah sesuai dengan kondisi lingkungan, sehingga perusahaan dapat bertahan dan mampu menghadapi persaingan yang ada.
Seperti halnya juga kehidupan organisme, pertumbuhan dan kemunduran setiap perusahaan dipengaruhi oleh banyak faktor, baik internal maupun eksternal, sehingga banyak langkah strategi harus dilakukan untuk menjaga keeksistensian perusahaan yang salah satunya dengan melakukan downsizing di awal tahun sebagai bentuk adaptasi perusahaan terhadap minimnya tingkat perekonomian global dan nasional, meskipun langkah ini akan memberikan dampak negatif bukan saja bagi aktivitas bisnis perusahaan, namun juga akan berdampak bagi para tenaga kerja yang di PHK
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H