Mohon tunggu...
Yuniarto Hendy
Yuniarto Hendy Mohon Tunggu... Jurnalis - Dosen Bahasa Indonesia di Beijing

Youtube: Hendy Yuniarto

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mereka yang Bersujud di Lhasa, Kota Tertinggi di Dunia

23 Juni 2024   16:12 Diperbarui: 23 Juni 2024   19:25 816
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengikut Buddhisme Tibet bersujud (kowtowing) di Pusat Kota Lhasa. (Dokumentasi Pribadi)

Mendengar kota Lhasa di Tibet, salah satu provinsi paling barat daya Tiongkok, kita pasti akan membayangkan pula pegunungan Himalaya yang menjulang tinggi berselimut salju, serta terasa mistis. 

Dengan ketinggian 3.650 meter di atas permukaan laut, Lhasa dijuluki sebagai salah satu kota tertinggi di dunia. Lhasa yang berarti "tempat tinggal para dewa" merupakan salah satu kota penting bagi umat Buddha seluruh dunia.

Di kota yang dikelilingi oleh pegunungan berpuncak salju ini, Lhasa, menawarkan kekhasan spiritualitas, sebagaimana di setiap jejak langkah akan tercium aroma dupa cendana dan gaharu, serta terdengar bunyi gumaman mantra, dari para peziarah. 

Ketika pertama kali menginjakkan kaki ke Lhasa, langkah berikutnya adalah sebuah perjalanan menuju spiritualitas yang kental, serta memahami bagaimana masyarakat menjalani kehidupannya dengan tenang serta menjunjung tinggi kedamaian.

Bepergian di Lhasa yang berketinggian lebih dari 3000 meter tentu akan mudah merasakan pusing dan capek karena kekurangan oksigen, apalagi jika sudah terbiasa hidup di dataran rendah. 

Untuk mengatasi penyakit ketinggian atau altitude sickness ini, selalu disarankan untuk minum obat selama seminggu sebelum pergi, namun pada praktiknya, tetap saja dapat merasakan pusing dan kelelahan. 

Oleh karena itu, ketika baru tiba di Lhasa jangan berkegiatan terlalu berat, jangan berlari, dan jangan mendaki gunung. Biarkan fisik kita terbiasa dengan minimnya oksigen terlebih dahulu.

Lhasa termasuk salah satu kota suci yang mana cukup sulit untuk dikunjungi, apalagi dalam sejarahnya kota ini pernah dijuluki "kota terlarang" oleh Alexandra David-Nel, seorang penjelajah serta penulis asal Perancis. Ia dianggap sebagai orang Eropa pertama yang menginjakkan kakinya di Lhasa, pada ekspedisinya tahun 1923. 

Untuk mencapai wilayah Tibet dan masuk ke Lhasa, dia menggunakan kefasihannya serta pemahamannya dalam berbahasa dan budaya Tibet, menyamar sebagai pengemis juga sebagai peziarah, serta melewati medan dan menghadapi cuaca ekstrim.

Pada saat itu, Lhasa sebagai kota suci bagi Buddhisme Tibet, sulit ditembus bagi orang dari luar, apalagi orang asing, sehingga kemisteriusan masih menggaung hingga kini. 

Pertanyaan-pertanyaan bagaimana kehidupan masyarakat di Tibet terkait kebiasaannya, keseniannya, makanannya, serta yang sering kita lihat di media yaitu kehidupan spiritual masyarakatnya yang unik. 

Untuk pelancong yang ingin mengunjungi Lhasa dapat membuat visa wisata ke Tiongkok, kemudian mencari agen wisata ke Tibet agar dibuatkan visa izin mengunjungi Tibet. Bepergian ke Tibet tidak dapat dilakukan sendirian, melainkan harus bersama agen wisata, yang telah menyiapkan segala kunjungan.

Di tengah kota Lhasa akan terlihat banyak peziarah yang datang dari berbagai wilayah di Tibet, berjalan dengan mengucap mantra. Ada kalanya mereka bersujud di jalan atau bersujud di sekitar kuil-kuil penting, seperti istana Potala dan kuil Jokhang. 

Istana Potala yang berdiri megah di tengah kota Lhasa dulunya merupakan kediaman pemimpin spiritual Buddisme Tibet, yaitu para Lama. Lama dalam Buddhisme Tibet merupakan seorang pemimpin spiritual yang awalnya digunakan sebagai gelar "guru" dan sekarang gelar Lama hanya berlaku untuk kepala biara.

Istana Potala ini sangat populer sebagai sebagai ikon atau landmark kota Lhasa sehingga menjadi tujuan utama para pelancong dan peziarah. Menurut catatan sejarah, Potala mulai dibangun pada abad ke-7 M oleh raja Songtsen Gampo dan kemudian disempurnakan menjadi struktur istana pada tahun 1645 yang mana pembangunannya membutuhkan waktu lebih dari 50 tahun. 

Kini Istana Potala merupakan suatu museum yang dapat dikunjungi oleh para wisatawan dan telah menjadi salah satu Situs Warisan Budaya UNESCO.

Istana Potala. (Dokumentasi Pribadi)
Istana Potala. (Dokumentasi Pribadi)

Bangunan bertembok putih dan merah ini menjulang tinggi seperti benteng, seolah menempel dicuramnya dinding gunung, sehingga banyak orang mengagumi kekhasan arsitektur bangunan ini. 

Istana ini memiliki 13 lantai dan berisi lebih dari 1000 kamar, 10.000 tempat sembahyang, dan kurang lebih 200.000 stupa. Berbagai stupa dan mural bertema cerita spiritual Buddhisme berwarna warni terlukis di setiap dindingnya.

Selain Istana Potala, kuil Jokhang juga merupakan situs penting bagi para wisatawan serta peziarah yang terletak di alun alun Barkhor, pusat perbelanjaan yang bersejarah lama di kota Lhasa. 

Kuil Jokhang dibangun pada tahun 640 M oleh raja Songsten Gampo sebagai tempat patung Akshobya Buddha, yang dibawa dari Nepal oleh permaisuri Nepal dan patung Jowo Shakyamuni oleh permaisuri Wencheng dari Dinasti Tang. 

Baik di sekitar Istana Potala maupun sekitar kuil Jokhang, banyak orang pengikut Buddhisme Tibet melakukan ritual bersujud. Ritual ini adalah salah satu ritual tertua dan khas untuk berdoa kepada Sang Buddha. 

Selama sujud, mereka menyatukan tangan, membungkuk, merendahkan diri di tanah; sementara itu mereka akan melantunkan mantra, memfokuskan pikiran, menunjukkan rasa hormat. Di dalam Buddhisme Tibet terdapat ajaran bahwa pengikut yang taat harus melakukan 100.000 sujud seumur hidup mereka.

Ritual sujud dalam Buddhisme Tibet adalah ritual penyucian dan pengumpulan pahala, melambangkan kerendahan hati dan rasa hormat yang melibatkan tubuh, ucapan, dan pikiran. 

Sujud dilakukan dalam rangkaian gerakan yang teratur, yaitu berdiri tegak, tangan dirapatkan dalam doa di jantung, lalu mengangkatnya ke atas kepala untuk mengakui Buddha, Dharma, dan Sangha (komunitas).

Orang yang sujud kemudian berlutut dan membungkuk ke depan, menggeser tangan ke depan hingga badan terentang penuh di tanah dengan dahi menyentuh lantai. Kemudian dilanjutkan dengan gerakan mundur kembali ke posisi berdiri. Tidak sedikit orang Tibet yang taat dalam beragama Buddha melakukan sujud ini sebagai bagian dari ibadah sehari-hari. 

Bahkan selama ziarah tertentu, menempuh jarak bermil-mil dalam sujud penuh untuk mengekspresikan pengabdian tertinggi dan mencari pemurnian spiritual. 

Ritual bersujud masyarakat Tibet ini pernah difilmkan pada tahun 2016 dengan judul Paths of the Soul, menceritakan suatu keluarga yang menjalankan perziarahan menuju ke Lhasa dan gunung Kailash dengan bersujud. Film ini menggambarkan dengan jelas bagaimana ritual ini dilaksanakan, dari latar belakang sampai kepada tujuannya.

Tibet menyimpan kekayaan alam serta budaya, menarik untuk dikunjungi. Pegunungan salju, keunikan arsitektur bangunan, dan kebudayaan masyarakat lokalnya membuat setiap orang yang mengunjungi atap dunia ini merasakan pengalaman yang tak terlupakan.

Menyaksikan langsung bagaimana orang Tibet melakukan ritual bersujud ini membuat kita merasakan ketaatan orang Tibet dalam menjalankan kepercayaannya, sehingga kita sendiri bercermin, sebagai orang yang berkepercayaan, bukankah seharusnya juga harus menjalankan ketaatan itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun