Pada saat mau menempuh studi pascasarjana, kampus mewajibkan bagi calon mahasiswanya untuk lolos tes TOEFL dengan skor yang ditentukan. Standar skor TOEFL saat itu memang cukup tinggi bagi mahasiswa yang jarang belajar bahasa Inggris, apalagi mengikuti kursus yang programnya khusus untuk ujian TOEFL. Namun bagi saya skor minimal tersebut dapat saya peroleh dengan usaha yang tidak begitu keras.Â
Dalam suatu kegiatan penelitian saya bertemu dengan seseorang yang ingin mendaftar masuk S2 namun masih terkendala oleh syarat tes TOEFL.
Dia meminta tolong saya untuk menjadi joki TOEFL dengan imbalan satu kaus, kaus oleh-oleh dari kampung halaman sekaligus tempatnya bekerja.
Saat itu saya tidak mempedulikan imbalan, hanya karena sudah kenal baik dan pernah melakukan penelitian bersama. Oleh karenanya saya menyanggupi untuk menjadi joki ujian TOEFL.Â
Pada saat itu pengawasannya tidak begitu ketat, kartu ujian dan KTP adalah bukti untuk masuk ke dalam ruang ujian.
Kami pun telah menyiasati bagaimana cara supaya tidak ketahuan, yaitu dengan mengganti foto pada kartu ujian dan KTP yang kemudian dipres atau dilaminating.
Memang pada saat di ruangan ujian terasa deg-degan karena beberapa kali penjaga mengecek kartu ujian. Kalaupun ketahuan saya pun tidak akan tahu apa yang terjadi. Dikeluarkan dari ruang ujian bukan masalah besar, tapi masalah besarnya adalah identitas saya ketahuan oleh kampus dan didrop-out. Pengalaman menjoki TOEFL untuk teman adalah yang pertama dan yang terakhir.
Setelah lulus kuliah saya mendapat kesempatan bekerja di sebuah universitas swasta. Saat itu Dekan dan beberapa dosen yang akan menginjak umur pensiun baru masuk program S3.
Sebagai dosen baru di kampus swasta tersebut saya pun merasa selalu menuruti perintah kerja atasan, termasuk di luar tugas pokok akademik kampus.
Salah satu tugas tersebut adalah membuatkan disertasi S3 dosen yang mana tidak ada hubungannya dengan apa yang saya pelajari sebelumnya, yaitu berhubungan dengan kajian pendidikan.Â