Lurah tidak pernah dipilih, melainkan turun-temurun, seperti pangeran yang menggantikan sultan, tanpa campur tangan atau melalui campur tangan penjajah.Â
Kini setiap orang memilih siapa yang akan menjadi Lurah, di Margomuljo, desa gemah ripah loh jinawi, diberkahi tanah subur dan air melimpah, tak pernah kekeringan.Â
Dari generasi ke generasi sudah menanam padi, sayur, dan rumput untuk sapi dan kambing. Margomuljo mendapat giliran pemilihan Lurah, baru yang pertama kali, disebut pesta oleh pak Bupati, meskipun warga ingin anak pak Lurah mengganti.Â
Sayang, anak pak Lurah memilih bekerja di pabrik, di Karawang, dengan UMR empat kali lipat dibanding di desanya, dan masih kurang karena cicilan motor. Dua kandidat terdaftar, pak Jono dan pak Yanto, berlomba merebut simpati warga dengan berbagai cara.Â
Berjas apik, kedodoran, setiap hari berkeliling dari RT ke RT lalu dusun ke dusun, menyapa, menebar senyum, yang tidak pernah dilakukannya namun tulus.
Bersalaman dengan warga yang sedang merumput, melintas pematang sawah, melinting celana kainnya, menceburkan diri ke selokan irigasi, kembali bersalaman, memberikan kartu nama, dan berbasa basi tentang cara penangkalan hama wereng.
"Bagaimana padi di musim ini pak Karjo ? tanya pak Jono dengan suara mantap.
"Ya seperti biasa pak..harus disemprot terus setiap hari, ini sedang banyak wereng." Keluh pak Karjo sambil menunjukkan cacat pada beberapa tanamannya.
"Besok akan ada bantuan dari Dinas Pertanian pak, alat semprot, ini disimpan dulu kartunya, besok pilih nomor urut ini, insyaallah saya bersama petani Margomuljo." Janji pak Jono terdengar sampai ke beberapa petani lain yang sedang membersihkan rumput.
"Jono menang Margomuljo makmur." Timpal Jono percaya diri.
 "Jangan lupa traktornya juga pak, sapi kami sudah malas membajak lagi". Sahut pak Karjo.