Mohon tunggu...
Yuniarto Hendy
Yuniarto Hendy Mohon Tunggu... Jurnalis - Dosen Bahasa Indonesia di Beijing

Youtube: Hendy Yuniarto

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Melacak Kuliner Indonesia Pengaruh Tionghoa dari Kata Serapannya

19 Januari 2019   20:23 Diperbarui: 22 Januari 2019   17:26 2274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menelusuri kata serapan berarti melihat perkembangan kontak budaya asing dan jejak-jejak perubahan keadaan masyarakat. Dengan menggali sejarah perkembangan kosakata akan ditemukan gambaran dari sejarah perkembangan masyarakat.

Orang-orang Indonesia, dari awal masehi, telah melakukan kontak budaya dengan bangsa luar, dengan bangsa India, Tiongkok, Arab, Portugis, Belanda, Inggris, dan Jepang. Kontak budaya dengan berbagai latar belakang sejarah juga meninggalkan jejak berupa kata-kata serapan yang berhubungan dengan aspek, sosial, politik, agama, hukum, dan kuliner.

Terkait kuliner, tentu menjadi ciri khas pada kata-kata serapan dari bahasa Tionghoa di dalam bahasa Indonesia. Selama lebih dari seribu tahun masyarakat Indonesia telah mengalami kontak budaya dengan bangsa Tiongkok dan menghasilkan berbagai asimilasi budaya yang unik, salah satunya dalam bidang kuliner. Bukti yang dapat ditelusuri adalah melalui kata serapannya sebagaimana kata serapan Tionghoa memiliki karakter pembeda dengan kata serapan asing lainnya.

Meskipun di sini digunakan istilah bahasa Tionghoa, namun saya maksudkan tidak hanya Mandarin, namun juga untuk bahasa-bahasa daerah seperti bahasa Kanton, Hokkien, Hakka, dan lain-lain. Kosakata kuliner Tionghoa juga menunjukkan perjalanan sejarah dan budaya masyarakat Indonesia hidup berdampingan orang-orang Tionghoa. 

Seiring perkembangan waktu masakan Tionghoa diperkenalkan, dijual, diajarkan serta diwariskan. Kemudian secara produktif dikembangkan oleh orang Indonesia sehingga menyatu menjadi bagian dari kuliner masyarakat Indonesia. 

Rahman (2016) dalam bukunya berjudul Jejak Rasa Nusantara, Sejarah Makanan Indonesia menjelaskan bahwa gelombang migrasi orang-orang Tionghoa dibarengi juga dengan dibawa masuknya berbagai bahan makanan baru seperti dasun/bawang putih (Allium sativum) hingga kedelai (Glycine soja).

Jejak-jejak warisan Tionghoa yang paling umum adalah pembuatan sejenis minuman fermentasi dari getah manis sadapan pohon palma (Palmae), minuman sari tebu, serta pembuatan gula aren dari getah palma atau tebu.

Teknik menggoreng cepat dengan wajan, mi, pertanian dan pembudidayaan beras, kedelai, kacang tanah, dan tebu, hingga teknologi pengolahan makanan dan minuman berhasil dikembangkan di Nusantara sebagaimana mulanya lazim dipraktikkan orang-orang Tionghoa.

Dari kata serapan Tionghoa yang didapatkan dari buku Loan-Words in Indonesian and Malay oleh Russel Jones (2008) didapatkan sebanyak 35 kata terkait kuliner. Dari 35 kata tersebut dapat dikategorikan menurut bahan, nama masakan, penganan, minuman, dan metode memasak. Hampir seluruh kata Tionghoa terkait kuliner sangat familiar dan sering kita dengar. 

Bahan

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Nama Masakan
Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Penganan
Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Minuman
Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Metode Memasak
Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Pengaruh kuliner Tionghoa di Indonesia secara intensif barangkali dimulai sejak awal abad 15 seiring frekuensi migrasi yang meningkat, ditandai dengan komunitas Tionghoa, baik Hokkian, Hakka, ataupun Tiochiu bermukim di beberapa kota besar atau daerah pesisir di Indonesia. 

Namun proses penerimaan kuliner Tionghoa harus diakui telah berlangsung berabad-abad sebelumnya, dengan bukti prasasti Watukura (bertarikh 902 M) berbahasa Jawa Kuno yang kini disimpan di museum di Denmark. Dalam keping ke-6 prasasti tersebut, jejak kata tahu ditemukan, dan menunjukkan bahwa kuliner Tionghoa sudah ada sebelum tahun 902 Masehi.

Plakat keenam, piagam Balitung (prasasti Watu Kura)| Dokumentasi pribadi
Plakat keenam, piagam Balitung (prasasti Watu Kura)| Dokumentasi pribadi
Alih aksara:

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Terjemahan : 

Babadan, Matapanas, Payaman, Buhara Suwul, Buhara Unduhan, Buhara Tngah, Buhara Hoya, Buhara Panganten, Bareng, semuanya "mendukung" di bawah yurisdiksi pemimpin Watu Kura.

Orang-orang berikut hadir sesuai dengan urutan prioritas (atau sesuai dengan aturan adat yang ada): pa tih, wahuta rama kabayan dan semua tetua desa perbatasan, lelaki tua, lelaki muda, dan perempuan, dari masyarakat kelas bawah, menengah, dan atas. 

Mereka semua terhibur. Tidak ada yang terlewati (atau: tidak ada yang kurang): makanan yang dimasak, berbagai jenis makanan: kasyan, lt-lt, bhanda kandi palidwa. Semua tamu sangat menikmati: tahu (makanan Tionghoa yang terbuat dari kedelai), wagalan haryya (sejenis pisang), kuluban (sayuran kukus), sunda (akar yang dapat dimakan), rumbah, dll. Tidak ada yang kurang. 

Kuliner Tionghoa yang awalnya populer di kota-kota besar atau kota pelabuhan tempat para komunitas Tionghoa bermukim perlahan-lahan mulai diterima oleh masyarakat asli Indonesia dan kemudian menyebar di berbagai daerah lain di Indonesia. 

Beberapa penganan khas Tionghoa yang masih berhubungan dengan kota tertentu, seperti Medan, Palembang, Kalimantan Barat, Jakarta, Semarang,  dan berbagai kota lain. Dalam buku Oud Batavia, Frederick de Haan menulis bahwa antara tahun 1602 dan 1799 sudah ada sejumlah rumah makan dan warung bakmi milik keturunan Tionghoa di Jakarta.

Di luar kata serapan, kuliner Tionghoa di Indonesia sebenarnya lebih banyak. Bebek peking yang juga disebut kaoya (bebek panggang) dalam bahasa Mandarin merupakan nama masakan yang diterjemahkan dari bahasa Inggris peking duck. Selain itu, juga terdapat mi tarik yang diterjemahkan dari bahasa Mandarin (la mian). 

Minuman ronde juga dipercaya berasal dari Tiongkok bernama tang yuan. Masyarakat Tionghoa di Tiongkok makan ronde pada waktu hari  dong zhi (winter solstice festival). Bagaimanapun ronde telah dikreasikan dan menjadi khas Indonesia dengan rasa yang sudah jauh berbeda..

Barangkali kuliner adalah salah satu aspek budaya yang mudah diterima oleh masyarakat. Kuliner Tionghoa menyatu ke dalam kuliner Indonesia dan akhirnya menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat Indonesia. Resep diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi, kemudian ditulis di berbagai buku resep. 

Dalam masalah masakan, seperti halnya kata, saling meminjam dan kemudian dikreasikan. Kata mi dan masakannya di berbagai negara, digunakan bersama dan tidak perlu ada pertikaian. Oleh karena itu, dalam urusan masakan, semua bersaudara.

Referensi

  • F. H. Van Naerssen, Th. G. Th. Pigeaud, and P. Voorhoeve. 1977. Catalogue of Indonesian Manuscripts. Part 2: Old Javanese Charters, Javanese, Malay, and Lampung Manuscripts, Mads Lange's Balinese Letters, and Official Letters in Indonesian Languages. (Catalogue of Oriental Manuscripts, Xylographs, etc. in Danish Collections, Vol. 4, Part 2.) pp. 179, 23 pl. Copenhagen, The Royal Library.
  • Masakan Cina bukan Hanya Milik Tionghoa. Detik.com/detail/intermeso/20170126//index.php.
  • Rahman, Fadly. 2016. Jejak Rasa Nusantara, Sejarah Makanan Indonesia. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama.
  • Russell, Jones. 2008. Loan-Words in Indonesian and Malay. KITLV-Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun