Mohon tunggu...
GUS EKO
GUS EKO Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis lepas berbagai kebijakan publik
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pengamat kebijakan publik

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

May Day, May Day, SOS Pabrik Listrik Kite...

15 April 2020   21:54 Diperbarui: 15 April 2020   22:13 4510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Musibah dicerca, berprestasi tak dipuji, sakit tak ditengok. Ungkapan itu layak diterima para 'unsung heroes', pahlawan-pahlawan tak terlupa. Termasuk kementerian dan BUMN yang bekerja dalam senyap.

Perusahaan Listrik Negara (PLN) adalah salah satunya.

Masih belum lupa tentunya 'blackout' 4 Agustus 2019 silam. Keesokan harinya, hampir semua media cetak arus utama memasang gambar hitam dan suasana Ibukota nan gelap akibat pemadaman listrik itu. Caci-maki nyaris tak henti.

Pada masa listrik padam itu, sebenarnya Menteri ESDM dan Direksi PLN sempat menggelar jumpa pers, melakukan permintaan maaf serta menjelaskan latar masalah dan upaya penyelesaian. Tapi, siapa yang menonton penjelasan itu? Wong televisinya gak bisa nyala...

Yang viral kemudian justru adalah kedatangan Jokowi keesokan harinya ke Trunjoyo, Blok M, kanpus alias kantor pusat perusahaan setrum negara itu. Media ramai menyorot kemarahan Jokowi dan pidato Ibu Dirut yang dinilai terlalu njelimet. Kembali, PLN jadi pesakitan tanpa bisa memberikan pembelaan.

Sementara dalam kondisi sehari-hari. Menjaga beban daya yang begitu luar biasa dan nyaris tanpa cacat, tak ada satupun pujian teralamatkan di sana. Padahal, Dilan bilang, beban itu sangat berat. Hanya PLN yang mampu.

Sebagai informasi saja,konsumsi listrik di DKI Jakarta mencapai 32.779,2 Giga watt hour (Gwh) dengan 4,4 juta pelanggan.

Konsumsi listrik terbesar di Jakarta untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, yakni mencapai 13.199 Gwh atau 19,57% dari total konsumsi, dengan jumlah pelanggan lebih dari 4 juta atau sekitar 91,92%.

usfeed.com
usfeed.com
Jumlah pelanggan listrik di ibu kota negara tersebut hanya 9,9% dari total konsumen di Pulau Jawa atau sebesar 6,11% pelanggan nasional. Namun konsumsi listriknya mencapai 19,57% dari total pemakaian setrum di Pulau Jawa atau sebesar 13,97% konsumsi nasional.

Jadi, kala PLN alami musibah 'blackout' seperti tahun lalu, dipastikan ia jadi sansak kemarahan massa. Tapi, kalau semuanya baik-baik saja, nyaris tak ada kredit dialamatkan. Sejak Work From Home (WFH) diterapkan pemerintah pertengahan Maret lalu sebagai upaya memutus rantai penyebaran Covid-19, belum ada tuh kisah listrik padam yang mengakibatkan kemesraan kumpul keluarga di hari kerja jadi terganggu.

Tak banyak yang tahu, di tengah kerja kerasnya mengamankan pasokan listrik di masa #DiRumahAja, PLN sebenarnya menanggung sakit yang tak banyak orang boleh mengetahui. Ia seperti seorang pelari yang berusaha terus menginjak garis finish meski ada luka parah di telapak kakinya.

Di masa krisis ekonomi sepuluh tahunan lewat sedikit ini, PLN menghadapi nilai tukar rupiah yang melemah. Nilai tukar masih di level Rp16.000-an per USD. Rendahnya nilai tukar ini akan memukul PLN dari sisi keuangan. Perlu diketahui, PLN sebenarnya mengalami mismatch antara pendapatan dan biayanya.

tirto.id
tirto.id
Pendapatan dari penjualan listrik PLN lebih banyak berbentuk Rupiah, sedangkan biayanya lebih banyak dalam USD. Melemahnya nilai tukar berpotensi mendorong kenaikan biaya bagi PLN, seperti untuk pengadaan energi primer (BBM, batubara dan gas), impor peralatan, serta pembayaran ULN. Nah pusing kan? Dibayar dalam rupiah, membayar dalam USD...

PLN merupakan BUMN yang disebut pemerintah wajib terlibat dalam meringankan beban kelompok masyarakat tertentu yang terdampak Covid-19 melalui keringanan tagihan listrik. Di tengah Covid-19, PLN mendapat tugas itu, wajib meringankan tagihan masyarakat yang berarti mengurangi pendapatan PLN.

Salah satu upaya mengurangi rasa sakit ini bisa saja, PLN mendapat kebijakan harga energi primer yang acceptable. PLN memiliki komponen biaya yang besar dari energi primer. Harga energi primer masih relatif tinggi, terutama gas. Pemerintah telah berencana menetapkan harga gas untuk listrik PLN sebesar USD6 per mmbtu. Kebijakan ini positif untuk menurunkan biaya produksi listrik PLN.

Kedua, adanya fasilitas penyediaan valas oleh Bank Indonesia (BI) dengan biaya yang wajar dalam rangka mengurangi dampak pelemahan nilai tukar terhadap kebutuhan valas PLN. Sangat berisiko bagi PLN dan stabilitas pasar keuangan bila PLN dibiarkan membeli valas di pasar (market) dengan harga yang berlaku saat ini.

antarafoto.com
antarafoto.com
Mekanismenya bisa saja antara lain dengan PLN menerbitkan surat berharga. Surat berharga ini lalu dibeli BI dengan janji akan dibeli kembali oleh penerbit (Reverse Repo). Hasil dari penjualan surat berharga nantinya digunakan untuk memenuhi kebutuhan impor dan pembayaran ULN (refinancing). Dengan cara ini, kebutuhan valas PLN dapat terpenuhi dengan biaya yang wajar.

Ketiga, pemerintah perlu memfasilitasi renegosiasi kontrak TOP antara PLN dan IPP swasta. Kontrak TOP perlu dimodifikasi untuk meringankan beban keuangan PLN.  

Tantangan yang dihadapi PLN tahun ini cukup berat. Karenanya, Covid-19 ini perlu sekaligus menjadi momentum untuk mendorong keberpihakan seluruh pihak kepada PLN. PLN adalah perusahaan negara strategis dan sekaligus 'sistemik' bagi perekonomian.

Kita tidak boleh membiarkan PLN bertarung sendiri dengan keterbatasannya. Sangat penting bagi PLN agar tetap mampu mempertahankan kelangsungan usahanya, menjaga kesehatan keuangan, serta memiliki cash flow yang cukup. Tak ada maksud lain, ini semua agar PLN mampu menjalankan misi pemerintah, menyelesaikan kesulitan ekonomi yang sedang dihadapi negara, sekaligus membantu beban rakyat kecil terdampak Pagebluk Corona.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun