Sosialisasi dan penanaman kesadaran tentang HIV/AIDS harus dilakukan secara berkelanjutan.
Di seantero jagad, pembicaraan mengenai penanggulangan HIV/AIDS selalu menunjukkan grafik meroket setiap jelang 1 Desember. Yap, sejak 1987, hari pertama di bulan terakhir setiap tahun itu memang ditetapkan sebagai Hari AIDS Sedunia. Keputusan itu ditelurkan pada Agustus 1987 oleh James W. Bunn dan Thomas Netter, dua pejabat informasi masyarakat untuk Program AIDS Global WHO di Jenewa, Swiss.
Pemilihan 1 Desember semata-mata demi waktu yang strategis, karena tanggal itu dinilai cukup berselang dengan Pemilu, namun tak terlalu jauh dengan libur Natal, sehingga dirasa sebagai “kalander mati” dalam penanggalan Amerika Serikat. Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Indonesia pun punya seabrek kegiatan jelang 1 Desember 2012. Termasuk di antaranya, sosialisasi HIV/AIDS dari mall ke mall. Satu dari lima mall di Jakarta yang menjadi sasaran kampanye, yakni Atrium Plaza Senen, berupa pameran foto dan diskusi terbuka. Tema diskusi kali ini, ‘Stigma dan Diskriminasi terhadap Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA)’ menghadirkan artis Rizal Djibran, psikolog sosial dan pekerja kemanusiaan Baby Jim Aditya, Deasy Novianti dari Yayasan Syair untuk Sahabat, Ayu Oktariani dari Indonesian AIDS Coalition, dan jurnalis Kompas TV serta peneliti Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) Jojo Raharjo. Ngobrol santai ini dimoderatori Djadjat Sudradjat dari KPA Nasional dan dipandu selebritis Oka Sugawa.
Dengan metode ‘tebar jaring’, menggemakan isu HIV/AIDS pada siapa saja yang lewat di mall, memang ada untung ruginya. Untungnya, sosialisasi ini bisa menyasar siapa saja, mulai remaja, pengunjung plaza, sampai pebisnis dan pemilik gerai pertokoan. Ruginya, acara ini terkesan asal saja mencari siapa obyek pendengarnya. “Bak menyebar air ke laut,” kata Baby Aditya.
Pemahaman dan pengenalan terkait isu HIV/AIDS di Indonesia seolah jalan di tempat. Tak ada kemajuan berarti, karena mispersepi tentang asal-usul dan proses perpindahan virus HIV masih saja terjadi. “Bayangkan saja, ada seorang tokoh publik berkicau di sosial media bahwa terapi ikan bisa menjadi sarana penyebaran HIV/AIDS,” kata Ayu Oktariani, aktivis masalah HIV/AIDS yang lebih akrab dikenal dengan akun twitter @ayuma_morie.
Bukan hanya angka statistik
Penyebaran informasi dan upaya penanggulangan HIV/AIDS tak bisa diselesaikan hanya lewat seminar, dialog di mall, talkshow, dan acara-acara seremoni. Apalagi bila aksi itu cuma dilakukan setahun sekali. Lebih dari sosialisasi lewat berbagai acara yang hanya nampak di permukaan, yang jauh bermanfaat yakni kegiatan berkesinambungan, seperti pendampingan di Lembaga Pemasyarakatan, tempat-tempat yang memungkinkan terjadinya transaksi seks, serta pemulihan kepercayaan diri para ODHA. “Kami menekankan pendekatan kepada anak-anak ODHA. Banyak dari mereka terabaikan, terutama setelah orangtuanya menjadi single parent karena kasus HIV/AIDS,” kata Deasy, presenter televisi yang bersama Yayasan Syair rutin menjadi teman bagi anak-anak ODHA.
Kian susahnya penyebaran informasi yang benar mengenai HIV/AIDS juga dirasakan lewat media. Apalagi dengan adanya kebijakan rotasi atau rolling wartawan, saat seorang jurnalis mulai paham tentang pemaknaan HIV/AIDS, ia harus dipindah ke desk atau pos lain, digantikan jurnalis lain yang benar-benar baru di isu ini. “Jurnalis hendaknya juga jangan terjebak pada angka statistik, berapa jumlah kasus HIV/AIDS terbaru, sebarannya di provinsi mana saja, ranking tertinggi diduduki profesi apa, dan lain-lain,” kata Jojo.
Masih kurangnya kesadaran untuk tidak mendiskriminasi atau memberi stigma terlihat pada pemilihan istilah, kerap masih memakai kata “penderita”, “pengidap” atau “penularan”, dibandingkan diksi yang lebih bersahabat, yakni “ODHA” atau “pemindahan virus”. Untuk rambu-rambu bidang penyiaran, yang dirangkum dalam Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS), Komisi Penyiaran Indonesia mengatur bahwa program siaran tidak boleh melecehkan, menghina, atau merendahkan kelompok masyarakat minoritas dan marginal, termasuk kelompok pengidap penyakit tertentu, seperti penderita: HIV/AIDS, kusta, epilepsi, alzheimer, atau latah. Pasal 15 ayat (2) SPS juga menekankan agar program siaran dilarang mengandung muatan yang dapat menimbulkan atau memperkokoh stereotip negatif mengenai kelompok-kelompok tersebut, menjadikan kelompok-kelompok tersebut sebagai bahan olok-olok atau tertawaan dan/atau mengeksploitasi kelompok-kelompok tersebut untuk mendapatkan sebesar-besarnya keuntungan bagi lembaga penyiaran tanpa memikirkan dampak buruk bagi pemirsa.
Bicara diskrimasi atau stigma, Indonesia memang masih jauh dari ideal. Untuk persyaratan masuk sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil misalnya, seorang pelamar harus menyertakan surat tes kesehatan, termasuk tes bebas HIV/AIDS. “Padahal, apa urusannya bebas HIV/AIDS dengan kapabilitas dan produktivitas dalam dunia kerja?” kata Jojo. Bila dibandingkan dengan negara-negara maju, urusan masuk kerja di Indonesia memang menunjukkan ketertinggalan jauh. “Di negara modern, jangankan soal penyakit tertentu, untuk melamar kerja tak dibutuhkan soal keterangan usia dan foto sekalipun,” tambahnya.
Terlepas dari efektivitas menebar jaring, sosialisi atau kampanye penanggulangan HIV/AIDS melalui mall tak sepenuhnya membuahkan hasil. Terbukti, penanya yang melongok ke panggung utama Atrium Senen berasal dari berbagai daerah, seperti dari Bekasi, Kupang, dan Makassar. Menebar air di laut sepintas terlihat sia-sia, tapi siapa yang tahu, di antara air yang tersebar itu, ada yang memercik menjadi pengetahuan, semangat, dan inspirasi baru.