Program talkshow Kompas TV Kata Kita membahas tentang penggunaan bahasa di masyarakat Indonesia. Sudahkah Anda bangga berbahasa?
[caption id="attachment_207204" align="alignleft" width="300" caption="Kata Kita membahas Bahasa Kita. Saatnya bangga berbahasa Indonesia."][/caption] Pernah dapat pesan pendek melalui telepon pintar seperti ini?
1928: Soempah Pemoeda
2000: Sumpah Pemuda
2010: Sump4h P3mud4
2012: Cumpaah? Miapaah?
Evolusi, atau bahkan revolusi, bahasa kita memang menarik. Itulah yang menjadi alasan Kata Kita KompasTV mengambil tema tentang bahasa. Episode kali ini mengundang tiga tamu istimewa, sastrawan sekaligus pakar etimologi alias ilmu asal-usul kata Remy Sylado, selebritis dan aktivis jejaring sosial Melanie Subono, serta Ketua Umum Wikimedia Indonesia Siska Doviana. Suasana lalu-lintas Jakarta Selatan yang tak bersahabat membuat pengambilan gambar di Mezzaluna & Puriartha Showroom, Kemang Raya, tertunda hampir dua jam. Butuh strategi tersendiri untuk membuat mood para narasumber terjaga di tengah macet nan membuat suntuk. Termasuk saya, yang kebagian peran menjemput Remy Sylado di Taman Ismail Marzuki. Pria bernama lahir Yapi Panda Abdiel Tambajong ini tercatat pernah menjadi wartawan, dosen, pegiat teater, penulis novel, pemain film, kritikus sastra, dan juga pemusik yang produktif mengeluarkan album. Nama pena Remy Sylado berasal dari angka 23761, notasi yang diambilnya dari chord pertama lirik lagu All My Loving karya The Beatles. “Itulah lagu pertama Beatles yang saya mainkan,” kata pria 67 tahun ini. Remy gemar sekali berpenampilan serba putih, mulai baju, ikat pinggang, sampai sepatu. Tentu, selain rambut putih yang menjadi ciri khasnya menjadi mudah dikenali saat ia mengirim pesan pendek, “Sy di depan XXI”. Tentang kebiasaannya berputih-putih ini, Remy tertawa lepas, “Ah, itu karena saya memang suka putih. Tapi, kalau di rumah, saya bisa pakai apa saja, kembang-kembang, jeans, atau kotak-kotak.” Hanya sepelemparan batu menuju Kemang, antrean mobil kian merayap. Remy Sylado ingat, ada yang kurang dari performa dirinya. “Kalau ketemu toko kecil, mampir dulu ya.” Maka, di kemacetan Jalan Bangka, ia melompat, masuk ke sebuah minimarket, dan keluar dengan membawa sebatang silet cukur. “Sudah lama saya tak membersihkan janggut,” katanya, lalu bersiul-siul riang setelah menyapu bagian dagu dan kumisnya.
Kegelisahan sang munsyi
[caption id="attachment_207205" align="alignright" width="300" caption="Timothy Marbun, pemandu Kata Kita. Membincangkan bahasa bersama tiga tamu"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H