Mohon tunggu...
Yo Sugianto
Yo Sugianto Mohon Tunggu... profesional -

penggemar sepakbola, belajar menulis dan suka puisi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Soal Tanggungjawab

24 Februari 2014   17:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:31 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tragisnya nasib Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri dari tahun ke tahun terus bermunculan. Kasus demi kasus membuat banyak pihak menuding bahwa pemerintah lemah dalam melindungi dan menjamin TKI yang bekerja di luar negeri.

Salah satu kecaman itu dilontarkan oleh salah satu pengurus DPP Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) terkait kaus penyiksaan terhadap Erwiana Sulistyaningsih yang bekerja di Hongkong dan saat ini sedang dirawat di kampung halamannya, Sragen, Jawa Tengah.

"Partai Gerindra mempertanyakan apa gunanya BNP2TKI mengeluarkan Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN) jika kasus seperti ini masih saja terjadi. Apa gunanya KTKLN jika hanya sekedar untuk pendataan? Kami juga mempertanyakan tanggung jawab BNP2TKI terhadap kasus ini, pada saat saya menjenguk Erwiana tidak ada pihak BNP2TKI yang hadir. Padahal kasus ini tanggung jawab mereka juga," kata Kepala Bidang Hubungan Luar Negeri DPP Gerindra,Irawan Ronodipuro (Gatranews,1 5/01/2014).

Sorotan lain datang dari Direktur Eksekutif Migrant Institute Adi Chandra Utama yang menyesalkan berbagai kasus TKI  kembali terulang. Menurutnya, pemerintah harus koreksi diri kenapa kasus serupa kembali terulang.

"Pemerintah terjebak dalam kasus per kasus, tapi tidak menyelesaikannya secara sistematis dan terstruktur. Kasus beberapa TKI di luar negeri, harusnya dijadikan momentum bagi pemerintah untuk memperketat pengawasan terhadap TKI," kata Adi Chandra (Sindonews,24/1/2014) terakit kasus Sihatul Alfiah (27), TKI asal Desa Plampangrejo,  yang mengalami penyiksaan oleh majikan di Taiwan.

Dalam kasus yang sama, anggota Komisi IX, Rieke Diah Pitaloka dalam siaran persnya mengatakan, Sihatul berangkat ke Taiwan pada tahun 2012 sebagai TKI yang menempuh jalur legal melalui PT Sinergi Binakarya. Kontrak kerja yang disepakati dan ditandatangani adalah merawat orangtua. Ternyata, setelah sampai di Taiwan Sihatul justru dipekerjakan sebagai pemerah dan pembersih kandang sapi di Liouying, distrik Tainan City.

Pernyataan-pernyataan itu menarik untuk disimak. Benarkah pemerintah lemah melindungi warganya yang bekerja menjadi TKI di luar negeri, yang sering disebut sebagai pahlawan devisi dan setiap tahun memberikan sumbangan devisa  Rp 100 triliun lebih?. Apakah TKI yang bermasalah, baik menyangkut legalitas atau perlakuan tidak adil yang diterimanya, sudah mengikuti aturan sebagai TKI atau merupakan TKI ilegal karena masuk ke suatu negara melalui calo?. Apakah lembaga yang sering dituding yakni Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) sebagai satu-satunya lembaga yang bertanggungjawab?.

Seperti diketahui, BNP2TKI merupakan lembaga yang dibentuk berdasarkan Undang-undang No 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Pasal 94 ayat (1) dan (2) UU itu mengamanatkan pembentukan BNP2TKI yang kewenangannya berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden.

Menyoal masalah ilegal, dalam arti TKI yang bekerja di luar negeri melalui agen atau calo, tidak mendaftar dan diuji kemampuannya (skill) untuk mendapatkan KTKLN (Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri), apakah semata-mata menjadi tanggungjawab BNP2TKI?. Bukankah penyelundupan tenaga kerja secara ilegal tak ubahnya merupakan perdagangan manusia (trafficking) yang ini menjadi kewajiban kepolisian untuk menindaknya.

Hal-hal seperti itu mestinya menjadi perhatian mendalam untuk dikaji, tidak sekedar melihat suatu masalah dengan sesederhana itu. Banyak TKI yang tertipu oleh para calo yang berkedok agen, tapi saat tiba di negara tujuan mereka lemah dalam aspek legalitas sehingga tak jarang kurang mendapat perhatian dari kedutaan besar RI setempat karena tidak melaporkan diri. Saat terjadi masalah, sang agen sudah tak ketahuan rimbanya, atau cuci tangan, dan tinggal TKI yang harus mengalami penderitaan akibat perlakuan buruk dari majikannya.

Pada sisi lain, pemerintah juga dituntut untuk berani bertindak tegas terhadap agen legal yang terdaftar tapi ternyata tak mampu memenuhi kewajibannnya dalam penempatan kerja TKI yang dikirim ke luar negeri. Kasus Sihatul itu jelas menunjukkan bahwa perusahaan yang mengirimkannya harus mendapat sanksi, dan bentuknya diumumkan secara terbuka kepada masyarakat sehingga mereka yang tergiur dengan menjadi TKI akan lebih hati-hati.

Tulisan sederhana ini tentu belum bisa menyajikan tuntas berbagai hal yang ada, tapi setidaknya diharapkan memberi gambaran tentang permasalahan TKI yang bekerja di luar negeri, dan belum mendapatkan perhatian penuh dari semua pihak. Tulisan mendatang akan mencoba membahas tentang BNP2TKI, KTKLN dan lainnya. Banyak masalah yang terdapat di dalamnya, yang tak bisa dilihat secara hitam putih saja. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun