Kayong Utara,- Momen perayaan hari kemerdekaan 17 Agustus tidak hanya identik dengan pelaksanaan upacara saja, namun selalu identik dengan lomba - lomba tradisional dan Panjat pinang menjadi salah satu lomba yang menjadi primadona dalam setiap perayaan kemerdekaan selain balap karung, makan  kerupuk dan lain - lainnya.
Panjat pinang sendiri merupakan sebuah perlombaan memanjat pohon pinang yang sudah dilumuri cairan licin (oil/minyak) untuk bisa sampai ke atas, setiap peserta terdiri  dari 5-6 orang per timnya. Namun di balik suka citanya perayaan kemerdekaan yang di isi perlombaan - perlombaan tradisional ini membuat banyak orang tidak sadar bahwa itu merupakan warisan sejak jaman kolonial zaman Belanda yang hingga kini eksistensinya  terus di rawat oleh masyarakat di Indonesia.
Sejarah Panjat Pinang (Asal Usul Dinasti Ming)
Meskipun sering dikaitkan dengan budaya kolonial, asal-usul panjat pinang sebenarnya jauh lebih tua. Permainan ini sudah populer di masa Dinasti Ming di Tiongkok (1368-1644). Panjat pinang populer di wilayah China bagian selatan, seperti Fukien, Guangdong. dan Taiwan. Namun, perlombaan itu sempat dilarang pada masa pemerintahan Dinasti Qing (1636-1912) karena menyebabkan banyak korban jiwa.Â
Ketika Jepang menduduki Taiwan pada 1895, panjat pinang kembali populer diadakan dalam acara tradisional tahunan Festival Hantu. Masyarakat saat itu menggunakan pohon pinang sebagai simbol keberuntungan dan melakukan berbagai ritual di sekitarnya, termasuk mengumpulkan pohon. Sejak era Dinasti Ming (1365 - 1600) dengan sebutan Qiang-gu.
Masuk di Indonesia Masa Kolonial
Panjat pinang kemudian merambah ke berbagai wilayah, termasuk Nusantara. Selama masa kolonial, permainan ini dimulai oleh para penjajah Belanda. Mereka melihat potensi panjat pinang sebagai hiburan yang menarik bagi masyarakat pribumi Masuknya panjat pinang di Indonesia dimulai sejak penjajahan belanda  sekitar tahun 1920 hingga 1930-an.Â
Di Betawi, permainan ini disebut Ceko. Mengapa pohon pinang dipilih? Pohon ini memiliki nilai ekonomis yang tinggi karena buahnya dapat diolah menjadi berbagai produk. Selain itu, tingginya dan licinnya batang pohon pinang membuat permainan ini menjadi tantangan yang menarik.
Dulu, perlombaan ini hanya diikuti kaum pribumi, sedangkan orang Belanda duduk menonton. Peserta lomba memperebutkan makanan seperti keju dan gula yang tergolong mewah bagi penduduk lokal. Seiring waktu, timbul kontroversi yang melibatkan lomba panjat pinang. Banyak orang menilai permainan ini mencederai nilai-nilai kemanusiaan. Sebab, penjajah mengadakannya untuk mendapat hiburan dan tawa dari pribumi. Bung Johri/19/8/2024
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H