Mohon tunggu...
Johny Chang
Johny Chang Mohon Tunggu... -

Seorang warga keturunan yang tinggal di kota Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Berani Mencoba Melawan Arus

21 September 2012   09:16 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:04 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pilkada menjadi anti-klimaks panggung politik di DKI Jakarta, dimana seperti terulangnya kisah kala dulu yang mencerminkan lebih lantangnya suara rakyat daripada suara partai-partai politik di nusantara.  Mentari terbit di ufuk Timur, terbenam di ufuk Barat, ombak surut silih berganti, apakah Pilkada ini ibaratnya seperti dongeng Putri Salju, alkisah Ratu Cantik yang jahat bertanya kepada sang Cermin, “Cermin, cermin di dinding, siapakah yang paling cantik dari semuanya?”

Apakah Pilkada ini adalah cermin tersebut?  Untuk warga Jakarta, hal tersebut adalah benar, dan merupakan keinginan untuk melihat perubahan, terlepas dari beberapa faktor pergolakan internal partai-partai politik nusantara pendukung Foke, yang akhirnya mendukung dan mengukuhkan kemenangan tim Jokowi-Basuki ini.   Kemenangan ini adalah simbol dari perlawanan suara warga melawan suara partai.  Lima partai politik terbesar di Indonesia melawan segelintir warga yang hanya didukung satu partai besar dan kenyataan yang terjadi di ibu kota kita ini adalah suara lima besar ternyata tidak mencerminkan mayoritas suara hati yang menjerit dari lubuk terdalam warga-warga ibukota.  Oleh itu, mereka memberikan kesempatan terhadap sosok pendatang yang mudah-mudahan dapat melihat DKI Jakarta bukan dari kacamata orang yang lahir dan besar di kota ini, tetapi dari sisi yang lain agar dapat mengusulkan solusi yang berbeda untuk satu Jakarta yang baru.

Hasil Pilkada mencerminkan keadaan nasional?  Saya berpendapat berbeda.  Jakarta sebagai ibu kota negara, kota terbesar, dan pusat dari kegiatan ekonomi yang terbesar memang terdiri dari kemajemukan suku-suku, ras-ras, agama dan budaya.  Terlepas dari segelintir kelompok yang tidak bertoleransi terhadap suku, agama, ras, dan golongan, sebagian besar warga telah hidup berkelompok dalam kemajemukan dan keberagaman yang toleran di ibu kota ini.  Apakah toleransi ini terlihat di setiap pelosok negeri ini?

Mengutip beberapa pemberitaan media massa, beberapa tempat seperti di Aceh, Banten, Jawa, Kalimantan, masih terjadi konflik-konflik horizontal antar kelompok, suku, ras dan agama.  Kesenjangan pengetahuan berpolitik di luar Jakarta cenderung membentuk karakter pengelompokan suku dan agama, dan pada umumnya mereka-mereka itu akan lebih nyaman memilih calon pemimpin dari kelompok, agama, dan suku mereka masing-masing.

Keterbatasan pengetahuan tentang arti yang sebenarnya dari demokrasi tidak terlepas dari faktor budaya yang melekat di golongan masyarakat yang tinggal di luar area perkotaan.  Budaya yang telah dilekatkan kepada masyarakat pedesaan adalah budaya menghormati yang tua, dan pada umumnya yang berbeda cenderung “manut” demi menghormati budaya dan tokoh masyarakat di daerah tersebut atau ber-risiko dikucilkan oleh orang-orang di sekitarnya.

Minimnya kesejahteraan, sarana, dan prasarana di tempat-tempat tersebut juga membuat sebagian besar dari mereka yang hidup di garis kemiskinan akan memilih mereka-mereka yang dapat memberikan kesejahteraan materi dalam bentuk fisik, prasarana, atau kebutuhan sehari-hari.   Apakah mereka akan memilih berdasarkan hati nurani masing-masing?  Mungkin terasa cukup menantang jika kita membayangkan hidup yang bergantung kepada alam dimana kecukupan kebutuhan hidup sehari-hari sangat tergantung terhadap kondisi alam untuk mendapatkan panen yang cukup.  Jika saya hidup seperti mereka, saya akan memilih berdasarkan partai yang selama ini mencukupi kebutuhan saya sehari-hari; Siapa tahu jika partai lain akan melakukan yang sama; Apakah kebutuhan rumah tangga saya masih terjamin?  Saya akan memberikan suara kepada partai atau partai yang dipilih oleh tempat saya mencari nafkah.

Berdasarkan data sensus BPS tahun 2010, jumlah penduduk per desa adalah berkisar dari 30-an sampai dengan 3000-an, yang berarti  budaya kebersamaan itu adalah sangat kuat dan satu desa cenderung berpihak kepada partai yang sama.  Sensus per provinsi tahun yang sama menyebutkan DKI Jakarta hanya memiliki 9.6 juta jiwa (4%) dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 237.6 juta jiwa.   Sedangkan untuk penyederhanaan asumsi, secara agresif kita mengambil beberapa kota yang memiliki kemajemukan suku, budaya, dan agama seperti DKI, jumlah penduduk DKI Jakarta ditambahkan ke seluruh jumlah penduduk Sumatera Utara (Medan), setengah total jumlah penduduk Jawa Barat (Bandung, Tangerang, Depok, Bogor) , dan setengah total jumlah penduduk Jawa Timur (Surabaya), maka jumlah sampel suara yang sejenis hanya 62.8 juta (26%).

Terlepas dari semua di atas, faktor pendidikan juga sama pentingnya di mana kesenjangan tingkat pendidikan di luar dari perkotaan akan menentukan kecerdasan pemilih untuk memilih partai politik yang memiliki pemahaman atas kondisi ekonomi makro, mikro dan sosio-politik dalam dan luar negeri yang dapat membawa Indonesia ke jaman ke-emasan seperti jaman kerajaan Majapahit dan Sriwijaya.   Oleh sebab itu, hasil Pilkada ini bukan cermin dalam dongeng Putri Salju.

Apakah faktor usia juga yang menentukan pemenang Pemilu Presiden di tahun 2014? Sebagai seorang yang sederhana dalam berpikir dan tinggal di daerah dimana tetua di desa saya adalah panutan masyarakat desa, saya akan melihat sosok tua itu lebih tergores oleh berbagai pengalaman, terasah dalam pemahaman, dan lebih terlihat lebih matang memimpin dibandingkan sosok muda.

Oleh itu, dengan menangnya Pilkada oleh cagub dan cawagub yang didukung oleh partai oposisi, Pemilu Nasional akan kelihatan penuh dengan corak dan warna.  Pendatang baru akan berkreasi dan berpeluang untuk masuk dalam kancah politik nasional dalam meramaikan bursa capres dan cawapres.  Memang terlihat dan terasa bahwa cukup banyak pemilih yang lebih berpendidikan mulai banyak yang kecewa dengan pilihan mereka dulu.  Terkesan juga banyak sekali program-program yang dijanjikan berjalan di tempat, dan keterpurukan ekonomi dunia tidak banyak membantu partai koalisi yang ada sekarang ini.  Tetapi, kancah dan strategi untuk memenangkan Pemilu Nasional adalah sangat berbeda dengan Pilkada DKI Jakarta.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun