Mohon tunggu...
Johny Chang
Johny Chang Mohon Tunggu... -

Seorang warga keturunan yang tinggal di kota Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Otomotif

Sekilas Potret Harian Kota Jakarta

19 September 2012   09:24 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:14 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kota Jakarta dimana tempat semua impian berawal, pusat kegiatan ekonomi di negara tercinta kita, Indonesia.   Kota yang terasa menyesakkan dengan berlalunya hari dan tahun; kota dimana kita lebih memilih untuk melengoskan kepala kita ke arah yang lain, terpaku kepada kegiatan kita masing-masing, dan memilih untuk tidak melihat kesemrawutan kehidupan di ibu kota negara yang menurut pemerintah kita menjadi salah satu tujuan investor manca negara.

Setiap hari saya melewati jalur busway yang dilalui oleh kenderaan bermotor yang bukan busway, terutama dari yang beroda dua.  Bermesraan dengan mobil yang lain, berusaha menghindar dari preman-preman beroda empat Kopaja, Bus Mayasari, mikrolet, dan menjaga jarak dari kentut-kentut  “Pak Ogah” roda tiga oranye adalah menjadi makanan saya sehari-hari.   Sedang untuk “Pak Ogah” biru yang saya suka jarang menampakkan dirinya di kesemerawutan pagi hari.

Saya sering bertanya dalam hati kenapa busway tidak membuat preman-preman roda empat dan “Pak Ogah” oranye keluar dari Jakarta?  Bukankah jauh lebih nyaman dari preman-preman tersebut yang semakin hari semakin agresif dalam menarik penumpang?  Terlintas di benakku beberapa hari yang lalu, saya membaca iklan pembiayaan sepeda motor;  Hhhmmm, saya berpikir kala itu, betapa gampang dan murahnya untuk  membeli sepeda motor apalagi yang bekas dengan pembiayaan perusahaan pembiayaan. Dan saya berpikir jika saya bukan dari keluarga yang berpenghasilan pas-pasan, saya mungkin akan membeli sepeda motor, sebab jalanan sudah macet dengan mobil-mobil yang kian hari bertambah banyak, apalagi di daerah rumah saya belum ada halte busway.

Jikalau saya seorang yang berpenghasilan pas-pasan, saya mungkin tidak bisa membeli sepeda motor, saya akan setia menemani sang preman roda empat sebab mereka memanjakan saya dengan berhenti di mana saya berpijak dan dimana saya kehendaki, siapa peduli kalau menghalangi mobil-mobil dan motor-motor di belakangnya, toh, yang punya mobil dan motor itu berduit.  Dan yang terpenting, harga yang dipatok preman roda empat ini jauh lebih murah dari naik busway.

Pernah terlintas di pikiran saya suatu ketika untuk “Bike to work”, dan kala itu telah menjadi tren yang cukup hangat di mana-mana. Ternyata tidak semudah yang terbayangkan sebab saya ketakutan mengantri di belakang “Pak Ogah” oranye dan sepeda-sepeda motor di jalan.  Belum lagi, preman-preman roda empat yang berusaha mendahului satu dari yang lain untuk menarik penumpang.

Cukup beruntung saya masih sanggup memiliki mobil.  Meskipun satu mobil tua, tapi telah setia menemani saya selama lebih dari 10 tahun dan telah melalui suka dan duka bersama.  Sebuah mobil yang terawat dan tidak kentut-kentut di jalan, oleh itu saya rasa belum saatnya saya beralih ke Busway.  Apakah saya akan memilih gubernur yang akan tetap menganggap ini sebagai satu prestasi dan memilih untuk menjadi status quo.  TIDAK!  Saya akan memilih perubahan atau memberikan kesempatan untuk perubahan tersebut terjadi.  Semoga bisikan hati saya berkenan di hati gubernur yang terpilih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun