[caption id="attachment_253585" align="aligncenter" width="502" caption="Ilustrasi 01: Transjakarta Today"][/caption]
STANDAR PELAYANAN MINIMAL TRANSJAKARTA
Kita pasti selalu bertanya tanya; Mengapa tiap kali mengeluhkan busway, mengeluhkan Transjakarta lagi lagi seiring berjalannya waktu keluhan kita hanya berujung sebagai kata kata yang menguap begitu saja. Again and again – hari ini terjadi, besok lagi dan lagi, sia sia - tidak ada upaya perbaikan. Dan pada akhirnya seluruh keluhan tersebut bermuara pada suatu pemakluman bersama. “ya memang kayak gini.. mau gimana lagi.. “
Inti dari persoalan ini adalah Standar Pelayanan Minimal. Manual Book atau Kitab Suci utama tentang poin-poin pelayanan minimal yang seharusnya diberikan transjakarta kepada penumpang selama ini ternyata belum pernah disusun dan belum pernah ada. Transjakarta seharusnya sudah memiliki Standar Pelayanan Minimal, yang dicetak ratusan eksemplar dijadikan buku saku kecil yang harus dibaca dan dipahami baik oleh seluruh karyawannya maupun bisa dibaca juga oleh semua penumpang. Sehingga terbentuk satu pemikiran bersama tentang standar minimal apa yang harus diberikan kepada penumpang.
Sungguh memprihatinkan pada akhirnya busway hanya memberikan pelayanan ala kadarnya tanpa pedoman strandar yang bisa dijadikan pegangan bersama.
ISI STANDAR PELAYANAN MINIMAL
Berikut garis besar standar Pelayanan Minimal Transjakarta yang seharusnya sudah disusun dan disiapkan sebelum busway itu ada, Sebuah Standar yang seharusnya sudah dicetak sebelum koridor 1 diaktifkan. Isi Standar Pelayanan Minimal tersebut antara lain: 1.Safety, 2.Jadwal Perjalanan, 3.Service & Kenyamanan, 4.Informatic System.
1. SAFETY
Tentu saja faktor keamanan mutlak menjadi perhatian utama. Selain regulasi teknis seperti batas kecepatan bus, hal-hal kecil yang harus diperhatikan lagi dalam sistem busway salah satu diantaranya adalah : aktif tidaknya pintu otomatis gate penghubung antara bus dan halte, sudah diupayakan untuk tetap aktif sebagaimana mestinya atau tidak. Atau memang ada kesengajaan dibiarkan tidak aktif / terus terbuka? Kalau memang pada akhirnya dibiarkan terbuka saja ya kenapa dulu dibuat?
Kemudian masalah step platform pijakan penumpang yang menghubungkan bus dan halte. Apakah sudah diatur secara detail batasan dimensinya. Apakah sudah diatur standar kerenggangan atau space antar bus dan bibir hallte minimal berapa cm? apakah sudah dipikirkan apakah seluruh halte memungkinkan penumpang berkebutuhan khusus seperti kursi roda bisa menyeberangi bibir halte ke arah bus secara nyaman dan aman?
Apakah desain halte selama ini dibuat dengan modul seragam? Kondisi halte busway seharusnya tidak bisa diseragamkan karena beberapa halte memilki kondisi khusus yang berbeda satu sama lainnya. Kita ambil salah satu contoh pada kasus Halte Pasar Baru misalnya, di mana sebelum mencapai halte, bus harus bermanufer dalam posisi belok/ serong saat mendekati bibir halte. Platform pijakan seharusnya didesain menyesuaikan dengan kondisi lapangan, tidak bisa begitu saja dibuat seragam / modular.
Hal hal kecil dan pritilan semacam inilah yang harusnya ditulis dalam Standar Pelayanan Minimal dan diupayakan agar bisa diawasi bersama sehingga seluruh pihak bisa saling mengingatkan.
2. JADWAL PERJALANAN
[caption id="attachment_253586" align="aligncenter" width="574" caption="ilustrasi 02 : Countdown Timer"]
Inilah hal paling vital yang sering dikeluhkan penumpang. Busway belum punya jadwal perjalanan! Interval bus belum diatur secara ketat. Bus belum bisa diandalkan sebagai BRT. Unsur “Rapid”nya ternyata belum dipenuhi.
Di saat negara maju 20 tahun yang lalu sudah mencetak jadwal bus kotanya seperti kamus saku, dijual di toko buku secara bebas, kita Indonesia di Tahun 2013 masih dipusingkan dengan ketidakjelasan jadwal.
Kalo toh jadwal belum bisa diupayakan tepat waktu sehingga pihak Transjakarta masih enggan menyusunnya, oke mungkin penumpang bisa memaklumi hal itu. Namun seharusnya kita masih memiliki pegangan minimal, misalnya sebagai kompensasi belum ada jadwal seharusnya busway mampu menyediakan interval yang ketat. Itu jauh lebih penting. Bus harus konsisten datang tiap 5-7 menit sekali. Dan jangan sekali datang langsung 3 bus bebarengan kemudian 20 menit kemudian hilang. Bagaimana menjadi transportasi andalan jika masalah seperti ini masih ada?
Kemudian di era 2013 ini, masing masing unit busway seharusnya sudah dilengkapi GPS , sehingga keberadaanya bisa selalu dimonitor pada halte halte yang akan ditujunya. Di jaman yang sudah modern ini penumpang seharusnya sudah bisa memantau estimasi waktu kapan busway terdekat akan sampai di halte. Jangan biarkan penumpang menyodorkan kepala keluar halte dan menunggu tidak jelas. [ilustrasi 02: countdown timer - estimasi kedatangan bus]
3. SERVICE & KENYAMANAN
TOILET
Seluruh bangunan atau fasilitas umum apapun itu, jika memang keberadaanya untuk mewadahi aktifitas orang banyak maka wajib memberikan fasilitas toilet umum. Kita bisa sedikit memaklumi transjakarta keberatan jika harus menyediakan toilet di seluruh haltenya. Tapi bukan berarti tidak ada pegangan batas minimal sama sekali. Menurut saya masih ideal jika minimal 1 dari 3 total halte yang ada disediakan toiletnya. Keberadaannya bisa disebar - tidak kita temukan di halte A, berarti kita bisa temukan di halte B atau C dan begitu seterusnya. Kita harus bisa memaklumi bersama beberapa kondisi halte memang tidak memungkinkan lagi untuk dibangun toilet. Secara space imposible. Namun harus tetap ada standar minimal yang harus dipenuhi, yaitu 33% atau 1 dari 3 halte harus ada toiletnya. Aktifitas dadakan personal dan di luar perencanaan penumpang seperti ini bisa datang kapan saja dan terjadi di mana saja. Toilet wajib disediakan.
DIMENSI HALTE
[caption id="attachment_253587" align="aligncenter" width="491" caption="Ilustrasi 03 : Halte "]
Masalah fasilitas lainnya adalah dimensi standar halte. Adalah menambah kapasitas ruang halte tidak bisa diperhitungkan untung dan ruginya karena jumlah penumpang dari hari ke hari akan terus meningkat. Halte halte transit penting seperti Harmoni, Grogol, Senen Central serta Dukuh Atas tentu saja segera memerlukan penambahan space yang mendesak demi kenyamanan bersama. Situasi yang bisa kita lihat hari ini sudah jauh berbeda dari sepuluh tahun yang lalu. Kita harus apresiasi bersama kesadaran penduduk beralih ke transportasi massal. Bentuk penghargaan pemerintah kepada penduduk yang menjadi pahlawan kemacetan ini yang paling mudah dilakukan ya dengan penambahan dimensi halte penting tersebut. Jika halte tidak memungkinkan dilebarkan masih bisa dipanjangkan, tidak memungkinkan diperlebar dan diperpanjang bisa ditingkat levelnya ke atas, simple.
Selain halte halte transit, yang tidak kalah pentingnya adalah kita harus memperhatikan lagi halte halte kecil yang kadang luput dari pengamatan . Apakah iya “halte-halte mini” yang pada awal didirikannya memang saat itu kondisi bus belum ada yang gandeng akan dibirakan terus berukuran kecil? Kita ambil salah satu contoh kasus halte Tosari misalnya. [lihat ilustrasi 03]. Halte ini berada di jantung ibukota, tepat berada di kawasan Bundaran HI. Tapi dari 10 tahun yang lalu tetap saja kecil padahal bus sudah berevolusi menjadi bis gandeng. Saat anda akan turun di halte ini, jangan salah bus yang anda naiki memang akan membuka seluruh pintunya baik pintu tengah maupun pintu belakang. Tapi aneh bin ajaib karena saking pendeknya halte ini, jika anda kebetulan berada di bagian belakang anda tidak akan bisa turun karena bahkan ukuran haltenya tidak lebih panjang dari busnya.
PEDESTRIAN PATH
[caption id="attachment_253588" align="aligncenter" width="614" caption="Ilustrasi 04 : atap plastik policarbonate (?)"]
Pedestrian Path adalah hal yang vital dalam sistem busway. Apakah pada awal perancangannya sudah ditetapkan kemiringan ramp standar berapa derajat? Jika pengguna kursi roda menggunakan ramp yang dibeberapa tempat sangat curam tersebut apakah penumpang berkebutuhan khusus ini bisa menggerakkan kursi rodanya secara mandiri dengan aman atau harus dibantu petugas busway atau bagaimana? Hal hal seperti inilah yang seharusnya sudah diatur dalam Manual Book Standar Minimal Pelayanan.
Kemudian atap penutup pedestrian path ini sudah sesuai standar atau belum? Saya belum sempat counter check berapa anggaran pembangunan halte halte ini pada 10 tahun yang lalu. Halte busway tentu dibangun dengan anggaran yang tidak kecil dan dikerjakan kontraktor ternama. Dari contoh sederhana saja kita pasti sudah bisa menilai bukankah atap policarbonate (plastik) ini sangat ringkih dan merupakan standar tipe atap untuk rumah sederhana? [lihat ilustrasi 04] Atap jenis ini lebih sering kita jumpai sebagai jemuran rumah, apakah atap seperti ini layak mewakili image Transjakarta sebagai transportasi andalan Jakarta?
Belum lagi saat hujan deras dengan mudahnya air tetap membasahi penumpang di bawahnya. Alih alih saat transit penumpang berharap tetap kering, yang terjadi justru tidak jauh berbeda dengan bertransportasi menggunakan bajaj karena sama sama basah juga saat hujan.
4. INFORMATIC SYSTEM
[caption id="attachment_253589" align="aligncenter" width="538" caption="ilustrasi 05 : "]
Sistem Informasi di busway Transjakarta pada era digital hari ini bisa kita simpulkan masih dijalankan secara tradisional. Dijalankan seperti halnya kita sedang hidup di era tahun 1800-an di mana moving text (running text screen) dan automatic speaker belum ditemukan.
Kita tentu saja tidak habis pikir. Apa gunanya di bus modern ini disediakan fasilitas automatic speaker information yang dipadukan moving text jika ternyata para onboard staffnya masih harus teriak teriak nama halte yang akan dituju. Jika dia harus teriak teriak seperti itu , apa bedanya onboard staff ini dengan kenek bus di terminal? Adalah onboard staff yang idealnya memiliki tugas utama menjaga ketertiban penumpang dan memberikan senyum sapa manis, bukannya dipekerjakan untuk teriak teriak.
Sangat aneh jika fasilitas sudah ada dan disediakan namun tidak diupayakan untuk tetap aktif. Di saat Singapore Bangkok, KL, Hongkong sudah menerapkan bilingual atau bahkan multilingual sistem dalam speaker information di public transportnya. Di Jakarta kita masih bisa menemukan onboard staff yang dipekerjakan seperti kenek bus teriak teriak secara manual. Bagi orang yang sudah terbiasa menggunakan koridor yang sama setiap harinya tentu saja sudah di luar kepala dalam menghafal nama nama halte. Tapi pernahkah kita berpikir dari sudut pandang penumpang turis domestik atau truris asing? Akan seperti apa sulitnya melihat situasi ini? Dan bagaimana pula dengan penumpang berkebutuhan khusus seperti tunga rungu misalnya, bagaimana cara mereka mengetahui halte yang akan dituju jika sistem informasinya dibiarkan tidak aktif?
Saya pribadi sudah mencoba berbagai macam koridor, saat ini hanya koridor 12 saja bus dengan informatic system yang aktif dengan baik - walaupun masih memerlukan beberapa perbaikan minor. Ke 11 koridor lainnya seperti apa kondisinya? – bisa kita simpulkan sendiri. Bahkan bus gandeng baru Zong Thong, Bus warna merah koridor 1 yang sangat kita cintai inipun dari awal kehadirannya dibiarkan tidak aktif informatic systemnya. Dari awal bus baru datang, bus masih diplastik sampai hari ini tulisannya masih saja " welcome" . [ ilustrasi 05]
BERSAMBUNG
Tulisan sebelumnya:
Masa Depan Transjakarta #1 : Menciptakan Design Jalur Busway Yang Steril
Tulisan selanjutnya:
Masa Depan Transjakarta #3 : Evolusi Transjakarta
___________________________________________________
John Simon Wijaya © 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H