Mohon tunggu...
John Rubby P
John Rubby P Mohon Tunggu... Penulis - Planter yang selalu belajar

PLANTER............

Selanjutnya

Tutup

Money

Membangun Kebun Plasma, Sebuah Dilema (?)

1 Agustus 2014   22:40 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:39 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kelapa sawit dewasa ini sangat diminati, makanya setiap musim kemarau tiba, tidak heran kita senantiasa disuguhi oleh kepungan asap kebakaran lahan.  Konon kebakaran lahan tersebut disengaja oleh sebagian masyarakat yang ingin membuka ladang.  Ladang yang terbuka tersebut pada umumnya deperuntukkan untuk penanaman kelapa sawit oleh masyarakat.

Saking diminati masyarakat, pemerintah beberapa tahun terakhir membuat kebijakan, setiap perusahaan sawit yang ingin membuka lahan perkebunan yang sudah mendapat ijin lokasi dari pemerintah, diwajibkan membangun kebun plasma minimal 20% dari luas ijin HGU.  Fenomena ini dimaknai sebagian masyarakat sebagai peluang untuk meningkatkan taraf hidup, akan tetapi disisi lain ada penolakan karena dianggap perusahaan perkebunan tidak akan komitmen penuh terhadap peraturan yang ada.

Dewasa ini perkebunan juga merasa perlu memberdayakan masyarakat, dengan pembangunan pola plasma dengan management tetap dipegang perusahaan inti.  Masyarakat sebagai pemilik lahan dibuatkan kebun dan biaya pembanguna kebun dipinjam dari bank dan perusahaan sebagai penjamin (avalis), perusahaan juga bukan semata-mata membagun kebun, akan tetapi pengelolaannya juga dipercayakan kepada kebun inti, jika masyarakat ikut bekerja didalamnya diberikan ruang seluas-luasnya dengan peran dan tanggung jawab sesuai dengan kemampuan dan kompetensi.  Melihat perkembangan yang ada, jika pembangunan kebun dapat dilaksanakan dengan cara yang terbuka dan transparan, maka masyarakat pada akhirnya dapat menikmati hasil dari pola plasma.

Masyarakat kita dipedesaan dewasa ini lebih banyak diberikan ikan oleh pemerintah tanpa memberikan pancing.  Itu sebabnya setiap pemilihan kepala daerah, maka siapa yang paling banyak menaburkan uang cenderung akan lebih mudah mendapat kepercayaan dari rakyat.  Demikian juga di dalam pemerintahan daerah, umumnya banyak memberikan yang instant, semacam pupk gratis, bahan kimia gratis, benih gratis, tanpa mempersiapkan mental para petani, sehingga banyak kita jumpai di pedesaan, bantuan yang serba gratis tadi dijual kembali demi mendapatkan uang tunai.

Pembangunan pola plasma, tidak serta-merta memberikan bibit sawit dan pupuk ke petani, akan tetapi semua pengelolaan kebun ditangani perusahaan.  Disinilah dilema mulai uncul, karena masyarakat sudah terbiasa dengan yang instant tadi, mereka beraggapan, dengan dibentuknya pola inti-plasma, dan ada pinjaman uang dari bank, tak sedikit dari masyarakat salah mengartikannya.   Pemberian pinjaman oleh bank diartikan bahwa semua uang yang diberikan akan langsung disetor ke masing-masing petani dengan nilai sesuai dengan luas lahan masing-masing.  Disamping pola pikir yang serba instant ada lagi masalah yang sangat sulit untuk dibentuk yaitu koperasi. Koperasi sudah didegungkan sebagai soko guru perekonomian bangsa, akan tetapi nyatanya sangat jauh panggang dari api.

Sebagai wadah petani peserta plasma, perusahaan membentuk koperasi perkebunan, nah letak problemnya adalah banyaknya pengurus yang belum apa-apa sudah mencari untuk sendiri.  Sebagai contoh, perusahaan ingin mengontrak mobil melalui koperasi, akan tetapi perorangan di dalam koperasi sudah mengambil fee tanpa memasukkakn fee tersebut ke dalam rekening koperasi, alias dimasukkannya ke dompet pribadi.

Jadi pembangunan plasma perkebunan sangat sulit diwujudkan, tapi walaupun sulit perusahaan senantiasa berusaha supaya pemerataan pendapatan dapat menciptakan harmoni antara perusahaan dengan masyarakat sekitar.

Salam Planter

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun