Berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) No 5 /2015 bahwa kebijakan impor dilakukan bersifat residual artinya kebijakan itu hanya dilakukan jika produksi di dalam negeri tidak mencukupi. Jika dilakukan tidak pada waktu panen raya yang justeru akan merugikan petani. Namun perlu juga diingat bahwa petani kita yang sebagian besar punya lahan seluas 0.3 hektar, sebagian besar tergolong petani gurem sangat sulit untuk sejahtera khususnya petani padi.
Petani padi hanya dua bulan saja dia menikmati hasil panen karena bulan kita petani kita kembali menjadi nett consumer. Saya sering menjumpai mereka yang petani juga bertindak sebagai tengkulak di sentra produksi di Jawa juga  punya jaringan dengan pedagang antar daerah di sentra-sentra produksi di P Jawa dan luar P Jawa. P. Jawa menyumbang 30 persen produksi  padi nasional. Sebanyak 92 persen dari produksi padi digerakkan oleh praktisi bisnis perberasan.
Lembaga pangan  seperti BULOG hanya mampu menyerap 5 sampai 8 persen produksi dalam negeri dengan kapasitas gudang seluruh Indonesia mencapai 4 juta ton. Sejumlah beras tersebut diantaranya digunakan untuk melakukan stabilisasi harga. Jika harga beras di pasaran cukup tinggi berarti ada masalah di produksi dan disribusi.Â
Jika pasokan melimpah permintaan tetap ceteris paribus harga cenderung turun begitu juga sebaliknya jika pasokan berkurang permintaan tetap ceteris paribus harga cenderung meningkat. Lembaga BULOG lah yang bertugas menjaga stabilisasi harga baik di tingkat produsen maupun di tingkat konsumen. Di tingkat produsen (petani) jika harga jatuh BULOG membeli langsung ke petani dan jika harga tinggi BULOG melakukan operasi pasar (op).
Operasi pasar hanya dapat dilakukan jika harga cenderung naik di atas 10 persen harga rata2 bulanan atau saat ini di atas Harga Eceran Tertinggi  (HET). Sejak otonomi daerah operasi pasar hanya dapat dilakukan setelah koordinasi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota.Â
Studi kasus pada saat op yang dilakukan di pasar, Â ada beberapa pedagang yang protes karena dengan dilaksanakannya op omzet mereka berkurang. Bahkan petugas di lapangan harus berurusan dengan preman pasar. Siapa yang diuntungkan pada saat harga tinggi. ? Sudah bisa ditebak. Bahwa sesungguhnya pedaganglah yang menikmati.
Petani yang sebagian besar petani gurem sampai kapanpun tidak mungkin sejahtera. Â Apalagi buruh tani yang kerja serabutan hanya pada saat panen saja. Jika impor dilakukan pada saat harga tinggi apakah petani dirugikan. Sesungguhnya pedaganglah yang rugi. Yang harus diantisipasi adalah tidak melakukan impor pada saat panen raya yang justeru sangat merugikan petani. Pemerintah secara berkala menaikkan harga pembelian pemerintah khusus untuk gabah dan beras.
Apakah luas areal tanam milik petani meningkat setiap tahun setiap HPP dinaikkan justeru sebaliknya karena selalu saja petani semakin sengsara akibat luas areal tanam padi yang semakin tahun selalu turun akibat alih fungsi lahan (perumahan, industri dan pembangunan jalan dan infra struktur khususnya di Jawa).Â
Benarkah sinyalemen yang diungkapkan oleh Rizal Ramli di tulisan Andi Irawan berjudul Impor Beras dan Kepentingan Publik di kolom detiknews.com. Perlu dibuktikan kebenarannya, apalagi Dirut BULOG yang saat ini adalah Mantan Kepala  BNN sangat paham siapa yang mempermainkan harga.
Jika  tidak, benang kusut data pangan yang selalu tidak sama antara Kementerian Pertanian dengan BPS, Perdagangan, BULOG dan Kementerian Perekonomian. Masalah impor akan selalu terjadi setiap tahun yang berarti pula negara tidak berdaya di tangan para mafia pangan.
Koordinator Jaringan Advokasi Pangan Indonesia (Japindo)