Mohon tunggu...
Yohannes Mukti
Yohannes Mukti Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Menanggapi Ketidakyakinan dari Pencari Kebenaran

22 April 2019   20:15 Diperbarui: 23 April 2019   11:47 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita pasti pernah menjumpai - atau setidaknya melihat di internet - seseorang yang mengatakan "Ah.. Tuhan di mana? Saat aku kesusahan dia tidak ada tuh untuk menolong." "Surga itu ada di mana?" atau "Kenapa manusia dicipatakan?" dan pertanyaan- pertanyaan lain yang menanyakan keberadaan tentang "Tuhan" ini.

Orang yang meragukan keberadaan Tuhan disebut sebagai agnostik. Apakah Tuhan ada tidak dapat diketahui kepastiannya. Mereka memiliki paham yang mana ada atau tidaknya Tuhan tidaklah menjadi hal yang penting.

Sedangkan paham yang sama sekali tidak mempercayai Tuhan dan meyakininya adalah ateisme. Orang yang memahami pandangan ini (atheist) menjalani kehidupannya tanpa meyakini adanya Tuhan. Menurut mereka keberadaan Tuhan tidak dapat dibuktikan secara empiris atau secara sains, karena itu keberadaan Tuhan tak dapat dipercaya.

Orang yang tidak mempercayai Tuhan (atheist) bisa saja ada di sekitar kita. Mereka ada bisa dari berbagai faktor, yang saya ketahui adalah ada yang mungkin dari awal -- keturunan -- tidak punya agama, ada yang kecewa dengan agama yang diyakininya dahulu, dan ada yang trauma dengan agamanya, serta satu hal yang kita bahas lebih lanjut adalah orang yang mencari kebenaran. Dan yang akan saya tekankan adalah faktor terhakir, orang yang hendak mencari "kebenaran".

Terdapat bebearapa pemahaman mengenai kebenaran di dunia ini. Tetapi dari pemahaman-pemahaman yang ada mengenai suatu kebenaran, tidak ada yang mampu memberikan hal konkret tentang adanya kebenaran yang mutlak. Yang ada hanyalah teori mengenai kebenaran.

  • Teori Korespondensi tentang Kebenaran, teori ini dapat dikatakan sebagai teori yang paling popular atau banyak dipakai untuk menentukan apakah suatu hal dapat dikatakan benar atau tidak. Sederhananya, Teori Korespondensi berpendapat bahwa "kebenaran" adalah apa pun yang ada sesuai dengan kenyataan. Ide yang sesuai dengan realitas/kenyataan adalah benar, sedangkan ide yang tidak sesuai menjadi salah.
  • Teori Koherensi tentang Kebenaran, Teori Koherensi kebenaran dapat dikatakan yang terkenal kedua stelah Teori Korespondensi. Teori ini lebih kepada deskripsi yang akurat tentang bagaimana cara pandang kita tentang kebenaran bekerja. Sederhananya, sebuah kepercayaan adalah benar ketika kita dapat menyatukannya dengan cara yang teratur dan logis ke dalam sistem kepercayaan yang lebih besar dan kompleks. Bahkan lebih simple lagi, sebuah keyakinan bisa dikatakan benar jika keyakinan tadi masuk ke dalam keyakinan yang lebih luas lagi tanpa adanya suatu bantahan atau kontradiksi.
  • Teori Pragmatis tentang Kebenaran, Teori Kebenaran Pragmatis menentukan apakah kepercayaan yang dikatakan benar itu mempunyai suatu hal yang berguna (pragmatis) dalam dunia ini. Tetapi sebaliknya, jika kepercayaan tersebut tidaklah memiliki kegunaan maka hal tersebut tidak dapat dikatakan benar. Mirip dengan Teori Koherensi yang dijelaskan sebelumnya, di mana teori ini tidak terkalu berkaitan dengan keadaan di dunia "sebenarnya". Teori ini menekankan kepada fungsi suatu ide dapat digunakan untuk membuat prediksi yang berguna tentang apa yang akan terjadi di dunia . Akibatnya, kebenaran pragmatis hanya dapat dipelajari melalui interaksi dengan dunia: kita tidak menemukan kebenaran dengan duduk sendirian di sebuah ruangan dan memikirkannya.

Dari situlah orang mulai mulai memikirkan tentang "kebenaran" di dunia ini dan mencari jawaban ataupun bukti yang dapat ditelusuri. Tapi seperti yang telah saya sampaikan, pemahaman atau teori tersebut hanyalah teori dan tidak mampu mengakatakan adanya sebuah "kebenaran yang mutlak". Jika di dalam sebuah kepercayaan mengakatan kepercayaannya adalah sebuah kebenenaran yang sempurna, itu akan terdengar naif. 

Karena apa yang telah terjadi ribuan tahun lalu -- saat agama mulai ada -- tidak ada bukti yang kuat (yang diminta oleh pencari "kebenaran" tadi) yang dapat disaksikan secara langsung. Yang ada hanyalah perkamen-perkamen kuno dan ukiran-ukiran lainnya yang berisi ayat-ayat yang diduga dari "Yang Maha Kuasa" yang tertulis di situ dan dipercayai serta diyakini oleh manusia di bumi. 

Dan jika memang kepercayaan tadi menyebut kebenaranyya adalah yang benar dengan segala yang ada di dalamnya, tetapi pemeluk kepercayaan atau manusia di sini tidak dapat merealisasikan kebenaran tersebut secara sempurna, oleh karena itu kepercayaan sangat sulit dikatakan sempurna atau "benar".

Lalu untuk menanggapi orang yang mencari "kebenaran" tersebut dan seseorang yang meragukan/bahkan sama sekali tidak percaya adanya Tuhan (atheist) sebaiknya "biasa saja". Jika kita merupakan orang yang beragama atau memluk suatu kepercayaan, maka perbuatan kebaikan terhadap sesama manusia pastilah diajarkan di dalamnya. Jika seseorang -- yang mencari kebenaran -- tersebut memiliki pandangan yang berbeda dengan keyakinan atau kebenaran yang kita percayai tidak haruslah kita menghakimi atau mempersekusinya karena berbeda.

Di Indonesia sendiri memiliki ideologi Pancasila yang pada butir pertamanya mengakatan "KeTuhanan Yang Maha Esa". Jadi secara ideologi rakyat Indonesia beragama. Tetapi terdapat juga sila yang mengaktakan "Kemanusiaan yang adil dan beradab". Tentu saja sila tersebut membuat HAM juga dijunjung tinggi di NKRI ini. Maka dari itu tidak semestinya hanya dengan alasan tidak beragama atau tidak mempercayai adanya Tuhan lantas rakyat atau pemerintah Indonesia menghakimi apalagi mengkum mereka.

Untuk di Indonesia, ateisme ataupun orang tak memiliki agama punya beberapa kendala atau bisa dikatakan beberapa haknya menjadi seakan-akan teak berlaku. Seperti pengurusan berkas yang memerlukan KTP, di mana di KTP tersebut haruslah mencantumkan agama (dapat melihat Pasal 61 dan 64 UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan) orang tersebut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun