Mohon tunggu...
John Lobo
John Lobo Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi dan Penggagas Gerakan Katakan dengan Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Guru di SMA Negeri 2 Kota Mojokerto Jawa Timur

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gila Belanja Menjelang Hari Raya Keagamaan

20 Mei 2022   06:25 Diperbarui: 20 Mei 2022   06:37 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Naskah hasil tulis tangan (dok. pribadi)

Oleh : John Lobo

Menjelang penghujung bulan puasa Ramadhan, beberapa kawasan perdagangan di kota-kota besar seringkali terjadi kemacetan lalu lintas dan penumpukkan manusia. Realita ini tentu membawa keuntungan yang berlipat ganda bagi para pemilik Mall, Swalayan, dan pedagang lainnya.

Masyarakat dari berbagi lapisan sosial seolah-olah terhipnotis untuk memaksa dirinya membeli produk dengan merek tertentu agar dibilang modis, keren, lebih percaya diri, dikagumi, cool, up to date, dan lain-lain. Realitas ini sepertinya menjawab sebuah adagium bahwa manusia tidak memiliki tingkat kepuasan yang defenitif.

Lewat kemajuan media digital manusia digiring untuk mengonsumsi sejumlah produk. Berbagai produk yang ditawarkan itu, dikemas dalam bentuk yang sangat menggoda sehingga siapapun pasti terseret untuk memilikinya. Andaikan tidak tahan uji bakal jadi korban demi memenangkan kompetisi gaya hidup.

Bulan puasa yang sejatinya dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk menarik diri dari hingar bingar hal-hal duniawi dan diajak sejenak untuk merenung perihal bagaimana susahnya mendapatkan uang namun justru memanfaatkannya menjadi momentum untuk memenuhi logika hasrat dan keinginan (ketimbang logika kebutuhan.

Gaya hidup boros atau konsumerisme adalah budaya yang ditopang oleh proses penciptaan terus menerus lewat penggunaan citra, tanda dan makna simbolik dalam proses konsumsi. Kebiasaan ini rupanya menjadi pola hidup masyarakat yang secara sadar atau tidak telah menjebak mereka dalam memakanai hari besar keagamaan secara dangkal. 

Bukan peningkatan kapasitas rohani dan sosial yang ditonjolkan tetapi budaya belanja. Mampukah Masyarakat melepaskan belenggu konsumtif untuk mencapai hakikat jati diri yang sesungguhnya ?.Sebagai ciptaan yang secitra dengan Tuhan keberadaan manusia adalah rekan kerja-Nya untuk menyempurnakan semua yang ada di muka ini menjadi lebih baik melalui usaha produktif bukan konsumtif.

Budaya belanja yang semakin merajalela merupakan bentuk pengkhianatan terhadap tuturan bijak bahwa kekayaan tidak terdiri dari memiliki harta benda yang banyak namun memiliki sedikit keinginan untuk membeli sesuatu.

Sangat mudah menakar seseorang itu terjebak dalam budaya gila belanja atau tidak. Hal ini bisa dilihat dari kehidupan para konsumen yang merasa kebingungan setelah membeli sebuah produk tertentu. Karena sering kali, ketika membeli sesuatu tidak didasari pertimbangan yang matang, sehingga manfaat dan kegunaan dipertanyakan kembali setelah produk tertentu sudah dibeli.

Manusia yang gila belanja menjadi sosok materialisme tak berjiwa. Artinya mereka membangun dirinya seperti mendirikan istana diatas pasir yakni terlihat berada secara materi sementara keropos dalam kehidupan rohani. Mereka menjadikan materi sebagai sumber kebahagiaan bukan sebagai sarana mencapai tujuan sebuah kehidupan.

Hal yang dikhawatirkan adalah sikap konsumtif ini menjerumuskan orang pada gaya hidup untuk mencari kesenangan semata dan tidak mau bersusah payah untuk suatu keberhasilan. Akhirnya bisa meningkatkan kejahatan sebagai jalan pintas untuk menggapai kesuksesannya.

Dalam budaya materialisme orang yang kaya secara materi lebih dihormati dari pada sebaliknya dan orang yang miskin secara materi sering kali diabaikan atau tidak diakui keberadaannya.

hasil tulis tangan (dok. pribadi)
hasil tulis tangan (dok. pribadi)

Menakar keberadaan sesama manusia dari perspektif kebendaan semata adalah sebuah tragedi. Oleh karena itu beberapa usaha preventif yang ditawarkan antara lain ; pertama, berpikir kritis dan mampu mengendalikan diri terhadap setiap tawaran gaya hidup konsumerisme yang sedang berkembang saat menjelang hari raya keagamaan. 

Berpikir kritis ditandai dengan adanya kedewasaan berpikir, mampu mempertimbangkan baik buruk suatu hal, selektif dan mampu membuat skala prioritas dalam menentukkan kebutuhan-kebutuhan hidup. "Belanja cerdas dan bukan belanja mudah" adalah ungkapan cara berpikir kritis dalam menanggapi berbagai tawaran yang mendorong konsumerisme.

Kedua, membangun ketangguhan pribadi. Ketangguhan pribadi cirinya adalah ketika seseorang berada pada posisi telah memiliki pegangan atau prinsip hidup yang kokoh, jelas dan kuat sehingga tidak mudah goyah oleh perubahan dan tidak menjadi korban dari pengaruh lingkungan yang dapat mengubah prinsip hidup atau cara berpikirnya. Prinsip hidup yang dimilikinya bersifat abadi.

Ketiga, mampu menikmati hidup walaupun menurut mata telanjang orang lain melihat bahwa ia sedang berada dalam kesusahan. Sosok yang demikian hanya mengandalkan kekuatan Tuhan dan memiliki tingkat kepasrahan kepada Tuhan yang sungguh dalam.

Keempat, memiliki perilaku hidup yang sederhana namun pola pikirnya tinggi, maju dan mendunia. Salah satu cirinya adalah rendah hati tetapi memiliki wawasan yang luas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun