Oleh: John Lobo
Pagi ini, Selasa (22/3/2022) cuaca di sekolah sangat sejuk. Pasca doa pagi bersama peserta didik yang beragama Kristen Protestan dan Katolik di lapangan basket, saya berpindah tempat menuju pos satpam. Tepat di samping pos dan bawah pohon beringin yang rindang, bersama saya terlibat dalam obrolan yang hangat dengan Pak Ahmad Qomarudin.
Kebetulan kami berdua sedang menunggu jadwal untuk mengajar pada ke 4 hingga 7. Abah Qomar, itu adalah sapaan akrab sehari-hari merupakan mantan pengurus cabang GP Ansor Kota Mojokerto periode 1995 -2005.Beliau juga yang menugaskan Riyanto anggota Barisan Ansor Serbaguna Nahdlatul Ulama yang gugur karena terkena ledakan bom saat mencoba menyelamatkan Gereja Eben Haezer di Mojokerto dari percobaan peledakan pada malam 24 Desember 2000.
Momen beromong - omong santai itu saya kemas dalam bentuk dialog sederhana berikut ini :
Abah Qomar : " Pak John, dasar perspektif apa yang dipakai oleh umat Katolik untuk melihat melihat berbagai persoalan hidup termasuk memandang agama lain terutama Islam ?"
Saya : " Bah, acuan atau sumber iman kami orang Katolik itu ada 3 yakni Kitab Suci, tradisi-tardisi suci, dan ajaran bapa - bapa Gereja (Magisterium).
Abah Qomar : Apakah teman -teman yang Kristen memandang kami yang Islam itu sebagai domba dari kandang lain yang tersesat ?
Saya : Bah, salah satu sumber iman Katolik yang menjadi acuan bagi kami dalam memahami dan bersikap terhadap jenengan (anda) termasuk semuateman-teman yang beragama Islam adalah ajaran bapa-bapa Gereja yang biasa disebut Nostra Aetate yakni Pernyataan tentang Hubungan Gereja dengan Agama-Agama bukan Kristen. Dokumen ini termasuk salah satu dokumen dari 16 dokumen yang dihasilkan dalam Konsili Vatikan Kedua pada tahun 1962-1965. Dokumen tersebut diresmikan oleh Paus Paulus VI pada pada tahun 1965. Secara spesifik disebutkan dalam artikel 2 dari dokumen tersebut adalah soal pandangan dan sikap Gereja Katolik yang mengakui bahwa di dalam agama-agama non Kristen ada yang benar dan suci yang bermanfaat bagi agama itu sendiri namun juga bisa memantulkan cahaya kebenaran itu kepada sesama kaum agama lainnya.
Abah Qomar : Terima kasih mas. Koq seperti dalam NU juga ya, dimana nilai - nilai tradisi dan kebudayaan dipandang sebagai kekayaan yang tidak bertentangan dengan agama secara inhern. Sebaliknya, justru tradisi selalu bisa menjadi instrumen melaksanakan keyakinan agama agar menjadi lebih kafah (lurus, berakhlak mulia, lemah lembut).
Saya : Bah, kita semua kan basodara. hahahhaha.... . O ya bah, ijinkan saya bertanya. Bagaimana pendapat jenengan (anda) tentang fatwa ?
Abah Qomar : Sebagai kaum nahdliyin saya katakan bahwa Fatwa adalah pendapat atau tafsiran pada suatu masalah yang berkaitan dengan hukum Islam. Fatwa itu seperti "nasihat", "petuah", "jawaban" atau "pendapat". Ada lho yang statusnya lebih tinggi fatwa, dan yang selalu digunakan sebagai rujukan dari fatwa.
Saya : Apa itu bah ?
Abah Qomar : Bahtsul Masa'il namanya. Itu adalah forum tertinggi yang membahas masalah-masalah yang belum ada dalilnya atau belum ketemu solusinya. Masalah tersebut meliputi masalah keagamaan, ekonomi, politik, budaya dan masalah-masalah lain yang tengah berkembang di masyarakat. Tidak semua orang punya kapasitas untuk masuk dalam zona ini.
Saya : Wouw...dapat wawasan baru nih bah, hahahaha
Abah Qomar : Ayo wayah e (waktunya) ngajar nanti kita lanjutkan lagi obrolannya ya.
Saya : Ok bah. Terima kasih.
Kamipun berpisah sementara untuk menunaikan kewajiban di mana abah Qomar menuju ke kelas dan saya mengajar di perpustakaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H