Selain ngia ngora, juga diserahkan su'a bhoko ne'e bere kedhi agar sao Patola dan Gebhawea nge pera riwu .Simbol sua bhoko nee bere kedhi artinya sebagai penentu yang berada di garis depan dalam hal rau uma (membuka lahan baru) Â dan tuza mula (menanam). Menjadi pera riwu artinya melakukan terlebih dahulu atau pemberi teladan.Misalnya, menanam pisang ketika membuka lahan baru kita harus menanam duluan demikian juga ketika menanam padi (pare), tuza hae (tanam jagung), sepa uta (makan sayur) ,Orang lain tidak boleh mendahuluinya.
Mengapa Gale Ga'e dan ngao Ngedo memberi kepercayaan kepada Paji dan Tado untuk melestarikan tradisinya (adha zala isi Deru) ?. Ketimbang menjelaskannya melalui defenisi yang rumit, saya lebih suka mengutip konsep yang dikemukakan oleh Jack Welch, mantan CEO General Electric. Katanya"Anda mengetahuinya saat anda merasakannya". Demikian juga ketika anda mendapatkan kepercayaan dari pimpinan, beliau mempunyai keyakinan terhadap anda, terhadap integritas, dan kemampuan anda (Stephen M.R Covey;2006)
Melalui ritus sepa uta ana sa'o Gebhawea dan Patola menyampaikan pesan kepada khalayak bahwa : robha leza ire dan musim tanam serta reba akan segera dimulai . Ire merupakan suatu bentuk isyarat yang mengumandangkan bahwa kegiatan rutin sebagai petani untuk sementara waktu dihentikan. Hal ini dilakukan sebagai bentuk pemakluman bahwa pesta reba akan segera dimulai. Ire ini dilakukan selama satu hari penuh setalah upacara sepa uta pada malamnya.
Keturunan Paji dan Tado yang mendiami sa'o Gebhawea dan Patola sangat menyadari bahwa kapasitas mereka sebagai pewaris sah tradisi atau teke wesu sangatlah berat. Tugas mulia yang diemban untuk menggunakan, menjaga, dan melestarikan seringkali mengalami tantangan berupa klaim pihak tertentu untuk mengaburkan sejarah dan hakekat reba yang sesungguhnya.Â
"Pada tahun 2015 ada pihak tertentu yang mengklaim warisan berharga tersebut. Namun keturunan Gale Ga'e dan Ngao Ngedo mengunjungi kami ana sa'o Gebhawea dan Patola untuk mempertegas dan meyakinkan bahwa mereka tidak bisa membantah dan mengkhianati kepercayaan yang telah diwariskan leluhurnya" kata Anselmus Dhewa salah satu mosalaki dari sao Gebhawea.
Reba Deru beserta ritus-ritus lain yang dilakukan selama ini adalah cara untuk menjaga dan melestarikan kepercayaan dari Mori Wesu. Seiring perkembangan zaman sangat diperlukan upaya kreatif untuk mempertahankan warisan yang sangat berharga ini melalui kerjasama dengan berbagai pihak agar masyarakat menjadi literat tentang Reba Deru
Penulis lahir pada tanggal 9 Juli 1972 di kampung yang dijuluki negeri sejuta jurang tepatnya Kampung Woeloma, Deru Desa Nenowea Kecamatan Jerebuu Kabupaten Ngada Flores NTT. Menyelesaikan pendidikan S-1 pada Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan bidang Kateketik Widya Yuwana Madiun Jawa Timur.Â
Saat ini bekerja sebagai Guru Pendidikan Agama Katolik di SMA Negeri 2 Kota Mojokerto. Tahun 2004 menikah dengan Ludgardis Keo dan mendapatkan anugerah Tuhan dua orang putra yaitu Claudius M.C. Wogo dan Diego de San Vitores Lina. Selain guru, penulis juga editor buku kumpulan esai "Bahasa Indonesia dalam Revolusi Industri 4.0" terbitan Temalitera Mojokerto.
Aktif dalam karya kemasyarakatan yakni sebagai penggagas Gerakan Katakan dengan Buku (GKdB), Anggota Pustaka Bergerak Indonesia, Pendiri Sa'o Pustaka dan beberapa Taman Baca serta pegiat literasi nasional. Lewat GKdB penulis menggerakan masyarakat baik secara pribadi maupun komunitas dalam mendonasikan buku untuk anak-anak di seluruh Indonesia. Penulis bisa dihubungi via email ; yohanesdonboscolob@gmail.com, FB: john lobo, IG : John Lobo, dan WA ; 082157531016.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H