Mohon tunggu...
Kei Kurnia
Kei Kurnia Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Believing is Seeing

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Merayakan Kematian

20 Mei 2022   10:00 Diperbarui: 20 Mei 2022   10:19 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kematian datang tak terduga. Senyap. Kematian bisa datang kapan saja seperti maling di siang bolong. Siap tidak siap dia mengintai kita kapan pun dan di mana pun.

Tulisan ini bukan untuk menakut-nakuti siapa pun. Bukan pula mengerdilkan semangat hidup seseorang (mungkin kamu)  yang baru berkobar demi menggapai cita-cita maupun mimpi membahagiakan orang tercinta.

Tulisan ini ada untuk berjaga-jaga. Dilalah (jika tiba-tiba) kematian datang kepada kita dan engga memberikan tanda-tanda, apakah kita sudah siap dan mampu menerima? Bisa saja kan? Siapa yang tahu coba?

Judul di atas rasanya aneh bagi orang awam. Pun bagi saya. Ha-ha-ha. Pada umumnya orang-orang merayakan kelahiran sebagai momen bahagia datangnya manusia baru di muka bumi. Itu biasa dan memang patut dirayakan. Lha, ini kan kehilangan seseorang dari dunia yang fana, kok malah dirayakan?

Umumnya kita bersedih, nangis ditinggal pergi selamanya. Kita tidak mau kehilangan seseorang tersayang yang memiliki ikatan selama kita hidup. Namun, faktanya kematian itu ada dan nyata. 

Kita tidak bisa menampik kenyataan pahit. Kita maunya yang manis-manis saja. Intinya hidup harus bahagia. Kalau bisa ya nggak usah ada kematian. Kalau memungkinkan hidup abadi pasti jadi keinginan banyak orang, termasuk kita.

Kematian merupakan salah satu fase hidup manusia yang akan kita lalui. Setelah melampaui tahun-tahun berada di dunia ini kita akan menghadapi kematian. Entah ketika kita tua nanti atau bisa saja saat kita masih berjaya pada masa muda. Segala pencapaian dan kepemilikan semuanya akan luruh. Tidak ada yang bisa kita bawa kecuali tabungan amal baik dan atau kantong dosa-dosa.

Berbicara soal kematian, aku teringat kejadian 5 bulan lalu. Sebuah kabar makjegagik (kabar kaget) menggetarkan chat sekaligus tanganku. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala sambil misuh halus (tidak terdengar orang lain). Sahabatku sejak TK meninggal dunia. Sebut saja W. Ia kecelakaan ketika berangkat kerja ke kantornya. 

W adalah seorang pegawai bea cukai di Semarang yang bisa dibilang sudah sukses secara materi bila dibandingkan teman sebayanya. Sebuah bangunan berupa kos-kosan resmi ia beli, tetapi bukan untuk dirinya sendiri. Ia membeli itu untuk orangtuanya. 

Mulia sekali. Dengan penghasilan di atas rata-rata seharusnya ia bisa berfoya-foya laiaknya anak muda kebanyakan. Bahkan, daya tarik materi bisa jadi lebih memudahkannya mendapatkan pasangan. Namun, kenyataannya tidak. Pakaiannya sederhana, jarang kelayapan a.k.a. dolan (main), makanannya ala anak kos kebanyakan. Sederhana sekali. Salut sekali aku memiliki sahabat sepertinya.

Kematian W seperti petir di siang bolong. Makgludug. Benar-benar mengagetkan. Perasaanku campur aduk antara tidak percaya atas kabar ini sekaligus sedih karena kami tak bisa bertemu dan dolan lagi. Padahal, beberapa hari lalu (24 Desember 2021) kami sudah merencanakan bertemu dan dolan bareng. 

Rencana itu pupus. Memang ia bertemu denganku, tetapi pertemuan ini menjadi perpisahan terakhir untuk kami (28 Desember 2021). Barangkali ketika aku melayatnya, ia hanya berseloroh, "Ngopo ndadak nangis? Aku wes bungah ning kene, kok!"  (Ngapain nangis? Aku sudah bahagia di sini kok!) Rest in love, Brother!

Kehilangan seorang sahabat maupun orang tersayang pasti memilukan. Sederet memori apik, lucu, nggilani, dan masih banyak lagi seketika terbayang lagi. Kami masih anak SD yang berlarian diterjang hujan sore itu. He-he-he. Masa lalu seperti baru kemarin.

Arsip pribadi
Arsip pribadi

Selain memori masa lalu bersama orang terkasih, kita bakal meneladan kebaikan-kebaikan yang telah ia berikan pada kita baik secara langsung maupun tidak. Betapa kebaikan itu masih terpatri erat dalam ingatan. Kemurahan hatinya meminjamkan uang, senyumannya yang menawan, dan kepeduliaannya di saat kita sakit, dan lain-lain. Lagi-lagi seperti baru kemarin.

Pada akhirnya kita akan bertemu dengan kematian. Siap tidak siap ia akan mengetuk pintu hidup kita. Entah kapan. Dan, setelah itu kita akan melebur menjadi kenangan. Orang-orang yang mengenal kita akan membicarakan kita sesuai apa yang telah kita perbuat pada mereka. Mau dikenang seperti apa? Kita tak tahu sekarang.

Sepanjang usia yang entah sampai keberapa kita hanya bisa berusaha menghidupi kepercayaan akan nilai-nilai baik. Kita ingin memperjuangkannya, sehingga menjadi bagian dari identitas kita sebagai manusia yang bermakna baik untuk diri sendiri maupun orang lain.

Jadi, jangan takut menghadapi kematian. Mending kita siap-siap merayakan kematian laiaknya kelahiran. Keduanya ada untuk menyempurnakan hakikat kehidupan. Fase hidup kita pun akan sempurna karena adanya kematian.

Lagi pula kalau kita percaya after life (hidup setelah kematian), kematian pun hanya sementara.

Terel Liye, dalam salah satu judul bukunya tertulis

daun yang jatuh tak pernah membenci angin. 

So, let it flow...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun